Jika Allah Maha Kuasa, Mengapa Dia Tidak Menolong Saya?

Posted on 28/08/2022 | In QnA | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/09/Jika-Allah-Maha-Kuasa-Mengapa-Dia-Tidak-Menolong-Saya.jpg Jika Allah Maha Kuasa, Mengapa Dia Tidak Menolong Saya?

Konsep tentang kemahakuasaan Allah merupakan salah satu doktrin yang paling populer di kalangan orang Kristen. Begitu banyak lagu kontemporer menyuarakan kebenaran ini. Sayangnya, tidak semua orang memahami konsepnya, apalagi menerima konsekuensinya. Tidak sedikit orang Kristen yang memiliki pemahaman keliru tentang doktrin ini, sehingga memengaruhi sikap mereka dalam menjalankan kehidupan.

Kesulitan untuk memahami doktrin ini menjadi lebih terlihat pada saat seseorang berada dalam situasi yang tidak menyenangkan. Penderitaan menjadi tantangan bagi sebagian orang untuk memahami dan mengamini kemahakuasaan Allah dengan benar. Entah berapa kali pertanyaan seperti di atas dimunculkan oleh orang-orang Kristen ketika mereka sedang mengalami kesengsaraan. Jika Allah berkuasa, mengapa keadaan saya bertambah buruk? Jika Allah berkuasa, mengapa Dia membiarkan orang-orang yang saya kasihi meninggalkan saya? Masih banyak pertanyaan lain yang mirip seperti ini.

Bagaimana kita sebaiknya menjelaskan situasi ini? Pertama-tama kita tidak boleh menggampangkan pergumulan orang lain. Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas kadangkala lebih merupakan pergulatan emosional daripada intelektual. Jika ini yang terjadi, kita perlu lebih sensitif dalam memberikan respons. Simpati harus didahulukan daripada argumentasi. Orang yang berada dalam situasi seperti ini seringkali lebih membutuhkan dukungan dan kebersamaan daripada penjelasan rasional.

Jika orang yang bertanya sudah siap untuk menerima penjelasan rasional, kita bisa memulai dengan menunjukkan ajaran Alkitab tentang kemahakuasaan Allah. Maha kuasa bukan berarti mampu melakukan apa saja. Ada beberapa hal yang Allah tidak dapat lakukan, misalnya menyesal (Bil. 23:19), berdusta (Tit. 1:2; Ibr. 6:18), dan mencobai/dicobai (Yak. 1:13). “Keterbatasan” ini berkaitan dengan hakikat dan sifat-sifat Allah sendiri. Tidak ada faktor eksternal yang membatasi Dia.

Mengapa Allah “dibatasi” oleh hakikat dan sifat-sifat-Nya? Jawabannya sederhana: Allah tidak mungkin bertindak yang bertentangan dengan hakikat atau salah satu sifat-Nya. Allah yang kesucian-Nya sempurna tidak mungkin berdosa. Allah yang kebenaran-Nya sempurna tidak mungkin melakukan ketidakadilan. Allah yang hikmat-Nya sempurna tidak mungkin bertindak bodoh. Kita masih bisa melanjutkan penjelasan seperti ini.

Maha kuasa juga bukan berarti akan melakukan apa saja. Allah melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya (Mzm. 115:3). Tidak ada faktor eksternal yang bisa memaksa Allah melakukan sesuatu. Jika Dia maha kuasa, Dia berhak melakukan apa saja seperti yang Dia kehendaki.

Kebenaran sederhana ini seringkali dilupakan oleh orang-orang Kristen. Mereka yang terlihat sangat getol memberitakan kemahakuasaan Allah seringkali justru menjadi orang-orang yang memaksakan kehendak mereka kepada Allah. Ini jelas sangat ironis. Jika Allah memang maha kuasa, maka Dia berhak untuk menunjukkan maupun menahan kekuasaan-Nya. Jika Dia selalu menunjukkan kuasa-Nya seperti yang kita minta, bukankah itu justru menunjukkan kelemahan-Nya? Jika tindakan Allah ditentukan oleh iman kita bukankah itu justru mengebiri kuasa Allah?

Terlepas dari bagaimana keadaan kita, Alkitab memberikan bukti yang cukup tentang kemahakuasaan Allah. Allah menciptakan segala sesuatu dari ketidakadaan (Rm. 4:17). Kristus menopang segala sesuatu dengan firman-Nya (Ibr. 1:2-3). Semua ini adalah bukti yang jauh lebih kuat daripada perasaan atau keadaan kita.

Sebagai penutup, saya ingin menegaskan kembali bahwa memercayai kemahakuasaan Allah seharusnya memberi ruang bagi Allah untuk tidak menunjukkan kuasa-Nya, apalagi dengan cara-cara seperti yang kita minta. Biarlah Dia jadi Allah dalam arti yang sesungguhnya: berdaulat mutlak dan berkuasa penuh! Sikap ini ditunjukkan dengan gamblang oleh Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Ketika diperhadapkan pada perapian yang menyala-nyala akibat penolakan mereka untuk menyembah patung raja, mereka dengan berani berkata: “Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu” (Dan. 3:17-18). Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community