Jika Alam Semesta Membuktikan Allah Ada, Mengapa Masih Ada Ateis?

Posted on 24/07/2022 | In QnA | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/08/Jika-Alam-Semesta-Membuktikan-Allah-Ada-Mengapa-Masih-Ada-Ateis.jpg Jika Alam Semesta Membuktikan Allah Ada, Mengapa Masih Ada Ateis?

Pertanyaan ini sekilas terkesan sederhana atau bahkan mengada-ada. Kesan ini akan hilang jika kita merenungkannya lebih dalam. Pertanyaan ini memang pantas dipikirkan secara lebih matang.

Di balik pertanyaan ini ada beberapa asumsi atau pertanyaan lainnya. Yang bertanya sebenarnya sedang mempersoalkan kualitas bukti-bukti tentang keberadaan Allah. Jika Allah memang ada, mengapa bukti tentang keberadaan-Nya tidak sebegitu jelas sehingga masih ada ruang bagi manusia untuk mempertanyakannya? Asumsi di balik pertanyaan ini cukup jelas: Seandainya Allah menyediakan bukti yang tidak terbantahkan, semua manusia pasti akan percaya kepada-Nya. Kenyataannya, masih ada ateis. Kesimpulannya, bukti tentang keberadaan Allah tidak seberapa meyakinkan.

Bagaimana Alkitab menjawab persoalan ini? Benarkah bukti tentang keberadaan Allah kurang persuasif? Jika sudah persuasif, mengapa masih ada yang tidak percaya?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu memulai dengan pernyataan eksplisit Alkitab tentang kejelasan bukti tentang keberadaan Allah. Di Roma 1:19-20 Paulus berkata: “Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.” Dengan kata lain, manusia seharusnya bisa mengetahui keberadaan Allah melalui penalaran terhadap ciptaan.

Jika pernyataan ini benar, mengapa masih ada orang yang tidak menangkapnya? Alkitab menyediakan dua jawaban. Jawaban pertama dari konteks Roma pasal 1. Kegagalan manusia untuk menyadari keberadaan Allah lebih disebabkan oleh “tidak mau tahu” daripada “tidak tahu.” Dalam istilah Paulus, mereka telah “menindas kebenaran” (1:18).

Alkitab tampaknya secara konsisten mengajarkan hal ini. Inti persoalan bukan terletak pada seberapa banyak yang manusia ketahui tentang Allah. Bangsa Israel adalah contohnya. Entah berapa kali mereka menyaksikan secara langsung perbuatan TUHAN yang ajaib di tengah-tengah mereka, namun mereka tetap saja tidak percaya, bahkan mencobai Allah mereka (Kel. 17:2, 7; Bil. 14:22). Yesus Kristus juga melakukan begitu banyak mujizat di depan bangsa Yahudi tetapi sebagian besar dari mereka tetap menolak Dia (Mat. 11:20-24). Sekali lagi, persoalan manusia bukan tidak tahu, tetapi tidak mau tahu. Bukan ketidaktahuan (ignorance) malinkan pemberontakan (rebellion).

Jawaban lain datang dari Ibrani 11:3 “Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat.” Ada kesamaan antara ayat ini dengan Roma 1:19-20, yaitu sama-sama berbicara tentang keberadaan Allah yang dapat diketahui oleh pikiran melalui alam semesta. Hanya saja, penulis Surat Ibrani menambahkan satu unsur tambahan yang penting di sini, yaitu iman (“dengan iman kita mengerti”). Keterangan ini menyiratkan bahwa kejelasan bukti tentang keberadaan Allah melalui ciptaan tetap menyisakan ruang bagi iman. Apa yang kita bisa lihat (dari ciptaan) tetap melibatkan keyakinan terhadap apa yang kita tidak dapat lihat (melalui iman).

Setiap orang pasti memiliki “iman” dalam arti dan taraf tertentu. Hal ini berlaku pada kaum teis maupun ateis. Dalam bahasa yang lebih sederhana, setiap orang menafsirkan data dengan asumsi dasar tertentu. Apa yang dilihat dari ciptaan (alam semesta maupun tubuh manusia) mungkin sama. Semua ilmuwan memiliki data yang sama. Perbedaan baru terlihat pada saat mereka menafsirkan data tersebut. Bagi para ilmuwan ateis yang menganut naturalisme (yang ada hanyalah alam semesta) dan materialisme (yang ada hanyalah yang jasmaniah) mereka tentu saja akan membuang segala opsi penjelasan yang melibatkan keberadaan supranatural yang rohaniah. Sebaliknya, bagi para ilmuwan religius, keberadaan Allah sebagai agen personal di balik proses penciptaan alam semesta diyakini sebagai penjelasan yang lebih masuk akal. Alam semesta dan tubuh manusia menunjukkan keteraturan yang begitu rumit. Pengalaman sehari-hari mengajarkan kepada kita bahwa keteraturan yang sangat begitu rumit tidak mungkin dihasilkan dari sebuah peristiwa yang kebetulan atau alamiah, tanpa intervensi dari agen personal tertentu.

Ruang untuk iman merupakan penjelasan yang masuk akal. Jika segala sesuatu bisa diketahui dengan pasti dan sempurna, keyakinan manusia kepada Allah tidak bisa disebut sebagai iman. Mereka terpaksa percaya, karena tidak ada ruang untuk memilih sebaliknya. Iman didasarkan pada pengetahuan, tetapi dipraktekkan melalui ketidaktahuan. Allah sengaja menyediakan ruang bagi ketidaktahuan supaya kita bisa melatih iman.

Hal terakhir yang perlu disinggung sebagai penutup adalah aspek iman yang multidimensional. Iman berkaitan dengan pengetahuan, tetapi iman lebih daripada sekadar persetujuan intelektual. Ada aspek lain yang menentukan. Iman seseorang dibentuk melalui aspek personal (kepribadian), sosial (pengalaman), kultural (kebiasaan), dan spiritual (ideologi tertentu yang dianut). Mengetahui bukti-bukti tentang keberadaan Allah (persetujuan intelektual) tidak menjamin munculnya iman yang benar. Ada hal-hal lain yang turut berperan dalam pertimbangan. Lagipula sebagian orang akan tetap memilih untuk mempercayai apa yang mereka ingin percayai. Itulah kondisi hati manusia.

Jadi, apakah bukti tentang keberadaan cukup persuasif? Dari kacamata orang Kristen jawabannya adalah afirmatif. Ya. Bukti-buktinya masuk akal dan cukup meyakinkan. Soli Deo Gloria.

Photo by Beat Schuler on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community