Hari Sabat: Hari Kebebasan dan Istirahat (Markus 2:23-28)

Posted on 20/03/2022 | In Teaching | Ditulis oleh Ev. Denny Teguh Sutandio | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/03/Hari-Sabat-Hari-Kebebasan-dan-Istirahat-Markus-2-23-28.jpg Hari Sabat: Hari Kebebasan dan Istirahat (Markus 2:23-28)

Seorang penulis naskah di sebuah agensi iklan yang bernama X ditemukan meninggal dunia setelah bekerja selama 30 jam non-stop. Ini disebut sebagai gila kerja (workaholic). Di bidang pelayanan pun, ada pendeta yang “gila melayani” yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melayani, lalu melupakan keluarganya. Kedua “gila” ini melupakan satu aspek penting dalam Alkitab yaitu istirahat. D sisi lain, ada gereja tertentu yang mengajarkan tentang hari istirahat (Sabat) secara ekstrim yaitu melarang jemaatnya untuk mengobrol tentang olahraga dan melakukan hal-hal “sekuler.” Apa kata Alkitab tentang istirahat yang benar? Mari kita merenungkan Markus 2:23-28.

 

Hari Sabat yang Keliru: Hari Kebebasan dan Istirahat yang Membebani (ay. 23-24)

Markus 2:23 mencatat, “Pada suatu kali, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum, dan sementara berjalan murid-murid-Nya memetik bulir gandum.” “Hari Sabat” merujuk pada hari Sabat menurut orang Yahudi. Pada suatu hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum dan para murid Kristus memetik bulir-bulirnya dan memakannya (bdk. Mat. 12:1; Luk. 6:1). Melihat para murid Kristus memetik bulir-bulir gandum dan memakannya, orang-orang Farisi marah dan menuduh para murid-Nya melanggar hari Sabat (ay. 24). Mengapa orang-orang Farisi marah? Bukankah Ulangan 23:25 mengizinkan siapa pun (khususnya mereka yang miskin) untuk memetik bulir gandum dari pinggir ladang tetangga yang belum dituai, asal tidak menggunakan sabit? Permasalahannya adalah orang-orang Farisi menuduh para murid-Nya menuai gandum tersebut. Tindakan menuai gandum dilarang oleh tradisi Yahudi waktu itu. Allah memerintahkan orang-orang Yahudi termasuk budak, hewan, dan tumbuhan untuk tidak bekerja di hari Sabat (Kel. 20:8-11; Ul. 5:11-15) dengan maksud agar mereka dapat beribadah kepada Allah (Kel. 31:15), namun tidak ada penjelasan bekerja seperti apa yang dilarang di hari Sabat. Oleh karena itu, di Mishnah (catatan tertulis dari pengajaran lisan hukum Taurat) m. Shab. 7:2, tertulis 39 jenis pekerjaan yang tidak boleh dilakukan di hari Sabat, salah satunya menuai. Ini berarti hari Sabat yang pada mulanya diberikan oleh Allah untuk beristirahat dan menyembah Allah diubah oleh orang-orang Farisi menjadi hari yang membebani (David E. Garland, Dari Injil Markus Bagi Kehidupan Masa Kini, 169).

Sikap orang-orang Farisi di atas disebut sebagai legalisme. Legalisme adalah “kepatuhan yang ketat, harfiah, dan berlebihan terhadap aturan dan persyaratan agama yang sering tidak diucapkan tetapi tetap sangat nyata dan kegemaran memaksakan aturan tersebut kepada orang lain agar mereka menaatinya” (Kamus Merriam-Webster, Jerry Bridges, dan saya). Dari definisi ini, ada dua ciri para legalis, yaitu: Pertama, kepatuhan yang ketat, harfiah, dan lebay terhadap aturan. Misalnya, di gereja tertentu, para penatalayan harus menggunakan kostum dengan warna tertentu mungkin sebagai tanda kekudusan “Kristen”. Kedua, kegemaran memaksakan aturan tersebut kepada orang lain. Misalnya, jemaat X dari gereja A (dengan kebudayaan gerejanya yang mengharuskan penatalayan menggunakan kostum tertentu) datang ke gereja B (dengan kebudayaan gereja yang berbeda) sebagai simpatisan, tapi anehnya jemaat X menggunakan kebudayaan gerejanya untuk menghakimi gereja B, “Kenapa para penatalayannya menggunakan kaos?”

 

Hari Sabat Sejati: Hari Kebebasan dan Istirahat Sejati (ay. 25-28)

Lalu, apa jawaban Yesus terhadap tuduhan orang-orang Farisi? Di ayat 25-26, Ia menjawab, “Jawab-Nya kepada mereka: “Belum pernahkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya kekurangan dan kelaparan, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar lalu makan roti sajian itu yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam dan memberinya juga kepada pengikut-pengikutnya?” Ayat 25-26 dikutip dari 1 Samuel 21:1-6. Daud dan anak buahnya yang sedang melarikan diri untuk menyelamatkan nyawanya itu sedang kelaparan makan roti sajian di Rumah Allah, padahal roti sajian merupakan bagian paling kudus dari sebuah persembahan yang hanya boleh dimakan oleh para imam di tempat kudus (Im. 24:5-9). Yesus mengutip Daud karena Daud adalah raja Israel terbesar dan nenek moyang Mesias (2Sam. 7:11–14; Mzm. 110:1). Ini berarti ketika Ia mengutip Daud, Ia ingin menunjukkan bahwa Ia sama bahkan lebih berotoritas dari Daud. Garland menyimpulkan bahwa jika peraturan-peraturan yang ketat tentang roti sajian di Rumah Allah dapat diabaikan demi Daud, maka peraturan-peraturan kudus dapat diabaikan demi Yesus (dan para murid-Nya) yang adalah Tuhan dari Daud (Mrk. 1:2-3; 12:35-37) (Garland, Dari Injil Markus…, 154).

Setelah itu, Yesus memberikan alasan para murid-Nya tidak melanggar hukum Sabat, yaitu “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat,” (ay. 27). Inilah makna Sabat sesungguhnya. Tafsiran ulang Yesus ini menggemakan Talmud (sumber utama hukum agama Yahudi dan teologi Yahudi) di dalam b Yoma 85b:2 (Robert H. Stein, Mark, 148-149). “Hari Sabat diadakan untuk manusia” berarti pada awalnya Allah menetapkan hari Sabat untuk memberkati umat manusia dan meningkatkan kesejahteraan mereka berupa istirahat dari keharusan berjerih lelah selama tujuh hari. Dengan kata lain, prioritas hari Sabat adalah memenuhi kebutuhan manusia.

Apa yang dapat kita pelajari dari ayat 27? Pertama, ketidakkonsistenan para legalis. Sebagaimana orang-orang Farisi yang legalis yang memusatkan hidupnya pada hukum Yahudi ternyata melanggar hukum Yahudi itu sendiri yang justru mengajarkan Sabat untuk manusia. “Para legalis adalah orang-orang yang memberhalakan dan memaksakan peraturan kepada orang lain dan menghakimi mereka yang melanggarnya, namun mereka sendiri melanggar peraturan yang mereka berhalakan tersebut.” Kedua, merayakan hari Sabat untuk mengasihi Allah dan sesama. Sabat berarti istirahat atau kelegaan dan Yesus berkata bahwa Dia adalah sumber kelegaan (Mat. 11:28), sehingga Sabat sejati ditemukan di dalam Kristus dan Ia telah bangkit pada hari Minggu, sehingga Sabat Yahudi menjadi hari Minggu. Sebagaimana Sabat Yahudi diberikan Allah sebagai momen umat-Nya mengasihi-Nya dan sesama, hari Minggu seharusnya mendorong kita untuk mengasihi Allah dan sesama.

Namun orang-orang Farisi mengubah makna asli hari Sabat menjadi “manusia untuk hari Sabat” di mana mereka tidak lagi memprioritaskan kebutuhan manusia, tapi lebih memprioritaskan ritual hari Sabatnya. Mereka tidak peduli jika para murid Yesus tidak memiliki persediaan makanan untuk hari Sabat yang mengakibatkan para murid Yesus kelaparan. Ini menunjukkan bahwa legalisme berdampak kepada pengabaian inti utama hukum Allah yaitu mengasihi Allah dan sesama demi alasan ritual. Para legalis memaksakan aturan tertentu kepada orang lain dan menghakimi mereka dengan membabi buta tanpa belas kasihan. Mereka dapat disebut sebagai orang toxic. Salah satu ciri orang toxic, menurut Gary Thomas, adalah roh yang membunuh di mana mereka “membunuh sukacita serta damai sejahtera Anda, dan bahkan mengancam kewarasan Anda.” (Gary Thomas, Waktunya Menyingkir, 36).

Kedua kesimpulan Yesus di atas didasarkan pada otoritas-Nya bukan hanya sebagai keturunan Daud, tapi sebagai Tuhan atas hari Sabat (ay. 28). Di PL, Allah adalah Tuhan atas hari Sabat karena Ia menetapkan dan menguduskannya (Kej. 2:3; Kel 20:8–11; 31:12–17; Im. 23:3; dll) dan Kristus mengklaim diri-Nya sebagai Tuhan atas hari Sabat, maka ini berarti Dia adalah Allah yang berotoritas mutlak menafsirkan ulang makna Sabat yang sesungguhnya. Konsekuensinya adalah tafsiran orang-orang Farisi salah, sedangkan tafsiran-Nya paling benar. Di tengah-tengah semangat “gila” kerja dan pelayanan sebagai para murid Kristus, kita seharusnya menaati firman Kristus tentang hari Sabat dengan cara:

Pertama, alamilah kebebasan sejati di dalam Kristus. Di Yohanes 8:30-36, Kristus memberikan kebebasan sejati kepada umat Allah, sehingga kita mengalami sukacita dan kedamaian di dalam-Nya. Pengalaman ini mengakibatkan dan mendorong kita untuk tidak gila bekerja atau melayani, tetapi bekerja dan melayani dengan porsi yang tepat untuk memuliakan Allah.

Kedua, berhentilah membebani orang lain dengan kebebasan palsu. Kebebasan palsu adalah kebebasan dengan segudang norma agama. Karena kita telah menemukan kebebasan dan istirahat sejati di dalam Kristus, maka kita pun seharusnya tidak membebani orang lain dengan kebebasan palsu yang mengakibatkan mereka tidak dapat mengalami istirahat sejati. Oleh karena itu, berhentilah menetapkan aturan lisan di dalam ibadah gereja dan menghakimi orang Kristen lain yang tidak menaati aturan lisan gereja Anda. Amin.

Photo by Jachan DeVol on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Ev. Denny Teguh Sutandio

Reformed Exodus Community