Eksposisi Filipi 4:10-13

Posted on 26/06/2022 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/07/Eksposisi-Filipi-4-10-13.jpg Eksposisi Filipi 4:10-13

Banyak orang tidak menyadari bahwa dunia sedang mengondisikan mereka untuk menjadi semakin konsumeris. Berbagai macam iklan produk dan gaya hidup tokoh terkenal tanda disadari telah membentuk sebuah konsep global tentang “hidup yang bahagia.” Sayangnya, kebahagiaan ini seringkali dikaitkan dengan materi. Lirik lagu Koes Plus “hati senang walaupun tak punya uang” sudah tenggelam oleh jaman dan dianggap kebodohan terbesar. Uang dan kebahagiaan diyakini tidak terpisahkan dan berbanding sejajar. Banyak uang, banyak kebahagiaan.

Dengan konsep populer seperti ini banyak orang berusaha menghindari kekurangan dan mengejar kelimpahan. Akibatnya, kemiskinan dan kelimpahan sama-sama menjadi monster yang sukar untuk ditaklukkan. Kekurangan menjadi momok yang menakutkan, sedangkan kelimpahan tidak pernah memuaskan.

Di antara dua ketegangan yang ada, banyak orang Kristen tidak tahu bagaimana harus menyikapinya. Tidak mengagetkan jika ada “iman” yang gugur karena kekurangan. Ada pula yang hancur karena kelimpahan. Banyak orang gagal untuk mengambil pelajaran bahwa yang terpenting bukan jumlah materi, melainkan perspektif teologi dan posisi hati. Kekurangan dan kelimpahan memberikan godaan yang sama: harta sebagai berhala.

Apa yang disampaikan oleh Paulus di bagian ini berhubungan dengan pemberian yang dia terima dari jemaat Filipi. Sebagaimana kita telah pelajari di khotbah-khotbah sebelumnya, jemaat Filipi turut mengambil bagian dalam pemberitaan Injil yang dilakukan oleh Paulus melalui dukungan finansial dan material mereka (1:5; LAI:TB “persekutuanmu” = partisipasi kalian”). Mereka bahkan mengutus Epafroditus untuk mengantarkan bantuan tersebut sekaligus menemani Paulus di dalam penjara (2:25). Sebagai seorang tahanan rumah (tidak dimasukkan ke dalam sel), aktivitas Paulus sangat terbatas. Kemanapun dia pergi dia selalu ditemani oleh seorang prajurit dengan borgol di tangan mereka. Dalam situasi seperti ini keberadaan Epafroditus sangat diperlukan. Sekarang Paulus akan mengirim pulang Epafroditus kepada jemaat Filipi (2:26-29) sambil membawa surat yang berisi ucapan terima kasih ini.

Yang menarik adalah cara Paulus mengungkapkan ucapan terima kasihnya kepada jemaat Filipi. Ucapan ini sama sekali tidak klise. Paulus memanfaatkan ucapan terima kasih ini sebagai kesempatan untuk mengajarkan perspektif teologis yang benar tentang materi.

Pertama, sukacita kita diletakkan pada Allah, bukan materi (ayat 10a). Kalimat pertama yang dia ucapkan adalah “aku sangat bersukacita di dalam Tuhan” (echarēn en kyriō megalōs). Paulus bisa saja memulai dengan ucapan terima kasih (eucharistō hymin, bdk. Rm. 16:4), tapi dia memilih untuk memulai dengan Allah. Sikap ini sejalan dengan ucapannya di 1:5a (“Aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu dalam Berita Injil”). Paulus sangat menyadari bahwa ada intervensi tangan Allah di balik kemauan dan kemampuan jemaat Filipi dalam menyokong pekerjaan Injil.

Seperti yang sudah disampaikan berulang kali dalam khotbah eksposisi berseri dari surat ini, kata kerja “bersukacita” maupun kata benda “sukacita” muncul belasan kali dalam surat yang pendek ini. Dia bersukacita ketika di penjara dengan semua persoalan dan keterbatasannya (1:12-18). Dia bersukacita pada saat harus membayar harga dalam pelayanan (2:17-18). Dia bersukacita ketika menerima bantuan (4:10). Semua ini menunjukkan bahwa sukacita tidak ditentukan oleh keadaan, melainkan kedaulatan dan kebaikan Tuhan. Sukacita terutama bukan masalah perasaan, tetapi pemahaman.

Tambahan kata “sangat” (megalōs) menyiratkan bahwa bagi Paulus setiap pemberian adalah hal yang istimewa. Ada Allah yang bekerja di baliknya. Paulus bisa saja tergoda untuk melihat pemberian itu sebagai hal yang biasa, karena  jemaat Filipi memang sudah beberapa kali mengirimkannya (4:15-16). Dia juga bisa saja tergoda untuk menganggap hal itu sebagai haknya (bdk. 1Kor. 9:4-14; 1Tim. 5:18). Filipi 4:10a mengajarkan kepada kita bahwa kebaikan orang, sekecil apapun itu, merupakan sebuah kejutan besar dari Tuhan. Jangan sampai “terbiasa” membuat kita memandang kebaikan sebagai sesuatu yang biasa.

Kedua, yang kita pentingkan adalah perhatian, bukan pemberian (ayat 10b). Di bagian ini Paulus masih belum menyinggung tentang materi yang dia terima. Dia lebih menyoroti perhatian jemaat Filipi kepadanya. Kata kerja phroneō (lit. “memikirkan”) muncul dua kali di bagian ini. Penerjemah LAI:TB menerjemah kata ini secara kurang konsisten (“pikiran dan perasaan” dan “perhatian”). Walaupun demikian, makna yang ingin disampaikan tetap sama: Paulus berterima kasih atas perhatian jemaat Filipi.

Untuk menegaskan hal ini Paulus juga menyinggung tentang momen ketika jemaat Filipi tidak bisa mengirimkan bantuan kepadanya selama beberapa waktu. Dia menganggap kendala ini tidak mengurangi perhatian mereka. Pada jaman itu komunikasi dan transportasi sangat terbatas. Jemaat Filipi tidak selalu memperoleh kabar terkini tentang posisi dan situasi Paulus. Pengiriman barang juga tidak semudah yang dipikirkan sekarang. Ada begitu banyak halangan yang mungkin saja terjadi. Semua ini tidak membuat Paulus sedih, kecewa, atau marah. Yang terpenting adalah perhatian. Pemberian hanyalah masalah kesempatan. Yang terpenting adalah orang, bukan barang.

Ketiga, kecukupan adalah hasil dari belajar (ayat 11-12). Frasa “kukatakan ini bukanlah karena kekurangan” (ayat 11a) menunjukkan kepekaan Paulus terhadap perasaan dan pikiran orang. Dia tidak ingin menyusahkan hati jemaat Filipi seolah-olah kegagalan mereka dalam mengirimkan bantuan yang lalu-lalu telah menyebabkan Paulus menderita karena kekurangan. Dia tidak mau mengeksploitasi kekurangan untuk memperoleh belas kasihan.

Kunci untuk merasa cukup dalam segala keadaan adalah belajar. Ide tentang belajar diungkapkan melalui dua kata: emathon (ayat 11, lit. “aku telah belajar”) dan memyēmai (ayat 12,  lit. “aku telah belajar rahasia”). Sayangnya, kata kedua tidak diterjemahkan dengan lengkap dalam LAI:TB. Pengulangan ini menyiratkan penekanan bahwa mencukupkan diri dalam segala keadaan tidak terjadi secara natural, apalagi spontan. Lebih mudah mengeluhkan yang belum berada di tangan daripada mensyukuri apa yang ada di genggaman.

Menariknya, Paulus tidak hanya menyinggung tentang merasa cukup dalam kekurangan, tetapi juga dalam kelimpahan. Godaan untuk merasa tidak cukup ternyata bukan monopoli orang miskin. Kekuatiran dan ketamakan sama-sama menyiratkan berhala Mamon yang sedang diberi makan. Mamon tidak mempedulikan tabungan seseorang.

Natur kita yang berdosa membuat kita cenderung tidak pernah merasa puas dalam keadaan apapun. Kita berusaha mendapatkan materi sebanyak-banyaknya untuk mengisi kekosongan jiwa kita. Kekosongan yang menuntut ketenangan, jaminan, penerimaan, penghargaan, dan pengakuan melalui kekayaan. Jika ini yang terjadi, kita telah menjadikan harta sebagai berhala. Dan semua berhala adalah sia-sia. Kekosongan yang hanya dapat dipenuhkan oleh Pencipta tidak mungkin dapat dipuaskan oleh ciptaan.

Keempat, menanggung semua di dalam Kristus (ayat 13). Ayat ini termasuk salah satu teks yang paling sering disalahpahami. Banyak orang Kristen menggunakan ayat ini sebagai jaminan bahwa mereka pasti akan mampu membalikkan keadaan. Persoalan akan hilang jika kita mengandalkan Tuhan. Penafsiran seperti ini kurang menjelaskan maksud Paulus. Yang penting bukan kekuatan untuk mengubah atau membalikkan keadaan, tetapi bertahan dalam semua keadaan dengan pemahaman teologis yang benar. Kita memerlukan kekuatan Kristus dalam keadaan kekurangan maupun kelimpahan. Kekurangan dapat menyeret kita pada kekuatiran dan pencurian. Kelimpahan dapat menjebak kita pada kesombongan dan ketamakan. Obat untuk keduanya adalah sama, yaitu keberhargaan dan kecukupan Kristus bagi kita.

Frasa “di dalam Dia” (LAI:TB/RSV) lebih tepat daripada “melalui Dia” (mayoritas versi Inggris). Yang lebih disorot oleh Paulus di sini memang lebih pada kedaulatan Kristus dan posisi kita di dalam Dia (kita aman di dalam Dia). Jadi, penekanan utama terletak pada posisi kita di dalam Kristus.

Walaupun demikian, keadaan ini tentu saja tidak sekadar statis. Keadaan ini bukan hanya keyakinan teologis. Kristus secara personal memang memberikan kekuatan-Nya kepada kita. Partisip dalam bentuk present (endynamounti) menyiratkan kesinambungan karya Kristus ini: Dia terus-menerus bekerja di dalam kita. Kita tidak hanya berada di dalam Dia, tetapi juga menikmati kekuatan-Nya yang nyata.

Perspektif Kristosentris di ayat 13 sangat diperlukan. Jika tidak ada tambahan di bagian ini, kita mungkin bisa terjebak pada mengandalkan kekuatan diri sendiri. Kita mungkin berpikir bahwa merasa cukup merupakan hasil disiplin diri dengan kekuatan sendiri. Tanpa persandaran di dalam dan melalui Kristus kita bisa terjebak pada ajaran Stoa yang sangat menekankan disiplin pikiran untuk mengontrol perasaan dan keadaan. Penganut filsafat Stoa kuno juga tidak mau dikuasai oleh keadaan, tetapi semua usaha ini dilakukan dengan kekuatan sendiri. Tidak demikian dengan kita. Kekuatan kita berasal dari Dia. Keamanan kita karena berada di dalam Dia. Soli Deo Gloria.

Photo by Michael Förtsch on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community