
Istilah “perspektif” (sudut pandang) tentu tidak asing bagi banyak orang. Kata ini bukan merujuk pada apa yang dilihat, tetapi lebih pada bagaimana seseorang melihat. Yang dilihat mungkin sama, tetapi pemahaman orang bisa berbeda. Faktor penentu terletak pada perspektif.
Nilai penting perspektif tidak perlu diragukan lagi. Sudut pandang menentukan penilaian. Sebagai contoh, sampah di mata banyak orang adalah barang yang tidak berguna, bahkan berbahaya. Namun, bagi para pemulung dan petugas kebersihan sampah adalah sumber nafkah bagi keluarga. Bagi beberapa pengusaha sampah bahkan bisa menjadi sumber penghasilan yang besar jika bisa didaur ulang. Apa yang tidak berguna bagi seseorang bisa menjadi berguna bagi orang yang berbeda.
Hal yang sama berlaku dalam kerohanian. Cara pandang seseorang sangat menentukan dalam banyak hal. Mereka yang melihat segala sesuatu dari perspektif bawah (kesementaraan) pasti akan menjalani hidupnya secara berbeda dengan mereka yang melihat dari perspektif atas (kekekalan). Itulah yang diajarkan oleh Paulus di teks kita hari ini.
Perspektif kekekalan (ayat 20a)
Bagian ini dimulai dengan kata sambung “karena” (gar) yang menerangkan alasan bagi nasihat di ayat 17 (“Saudara-saudara, ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu”). Paulus memberikan dua jenis alasan bagi nasihat ini: alasan negatif (3:18-19) dan positif (3:20-21). Jemaat Filipi perlu memiliki dan mengikuti teladan iman karena banyak orang memamerkan hidup yang buruk (3:18-19). Orang-orang ini jangan diikuti. Jemaat Filipi juga perlu memiliki dan mengikuti teladan karena identitas mereka yang baru di dalam Kristus (3:20-21). Mereka adalah warga kerajaan sorga.
Identitas ini tampaknya sangat ditekankan oleh Paulus. Dalam teks Yunani, kata “kita” (hēmōn) muncul di bagian paling awal. Melalui peletakan kata semacam ini Paulus ingin menegaskan perbedaan status antara jemaat Filipi (3:20-21) dengan para seteru salib Kristus (3:18-19). Status ini berkaitan dengan cara pandang. Para seteru salib hanya mengejar hal-hal yang sementara karena pikiran mereka hanya terfokus pada apa yang ada di dunia ini. Tidak demikian dengan jemaat Filipi. Mereka adalah warga negara sorga. Pikiran mereka bukan duniawi, tetapi sorgawi. Yang dikejar bukanlah kesenangan sementara, tetapi kebahagiaan kekal di sorga.
Penekanan yang lain ditunjukkan oleh Paulus melalui penggunaan kata kerja “adalah” (hyparchei, lit. “menjadi”) dalam bentuk kekinian. Status sebagai warga negara sorga terjadi sekarang, bukan nanti. Jadi walaupun kita masih di dunia, kita sudah memiliki warna negara sorga. Perspektif inilah yang harus ada di pikiran setiap orang Kristen.
Bagi Paulus perspektif ini bukan sekadar jargon teologis yang kosong, bukan pula sebuah latihan penalaran semata-mata. Dengan persektif ini dia mampu memaknai kehidupan dan kematian secara benar. Kehidupan berarti berbuah bagi Kristus, sedangkan kematian berarti berdiam bersama Kristus (1:21-24). Itulah sebabnya Paulus tidak menyesali kehidupan atau takut pada kematian. Dia juga mengetahui tujuan hidupnya, yaitu menikmati persekutuan dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya (3:10-11).
Istilah “warga negara” (politeuma) tentu tidak asing di telinga jemaat Filipi. Kota Filipi merupakan domisili para veteran Roma, setelah kemenangan perang Mark Anthony dan Octavian (selanjutnya menjadi Kaisar Agustinus) melawan Cassius dan Brutus. Kota Filipi berangsur-angsur menjadi sangat mirip dengan kota Roma, sehingga seringkali dianggap sebagai miniatur kota Roma. Ada begitu banyak kesamaan antara dua kota ini. Salah satunya adalah dalam hal kewarganegaraan. Banyak penduduk Filipi disamakan dengan penduduk Roma. Artinya, mereka memiliki hak dan keistimewaan yang sama dengan warga negara Romawi di kota Roma. Sebagai contoh, sebagai warga negara Romawi seseorang akan diperlakukan istimewa dalam hal tuntutan hukum atau jalannya suatu perkara (16:38; 22:25-29). Semua hak dan keistimewaan ini tidak dimiliki oleh mereka yang bukan warga negara.
Selain memberikan banyak keuntungan, kewarganegaraan Filipi (atau Roma) juga memberikan kebanggaan. Tidak sedikit orang yang bahkan rela membayar mahal untuk menjadi warga negara Romawi (Kis. 22:28). Warga negara Romawi merupakan penduduk kelas utama. Secara sosial, kultural, dan politis mereka lebih superior daripada yang lain.
Dengan latar belakang historis seperti ini kita dapat mengetahui maksud pernyataan Paulus di 3:20-21. Dia ingin memberikan dorongan bagi jemaat Filipi. Walaupun mereka minoritas (2:15) dan sering mengalami penganiayaan (1:29-30), mereka seharusnya bangga dengan status mereka sebagai warga negara sorga. Kehormatan mereka berada di dalam Kristus. Apa yang dipikirkan oleh dunia tentang mereka tidaklah penting. Apa yang dianggap keuntungan secara duniawi seringkali justru menjadi kerugian secara sorgawi (3:7a). Apa yang dulu dibanggakan kini mungkin perlu disampahkan (3:7b-8).
Konsekuensi dari perspektif kekekalan (ayat 20b-21)
Sama seperti warga negara Romawi memiliki gaya hidup yang berbeda dengan mereka yang bukan warga negara (bdk. Kis. 16:20-21), demikian pula dengan kita sebagai warga negara sorga. Kita bukan hanya bangga dengan status mereka, tetapi juga menunjukkan gaya hidup yang berbeda. Kita bukan seperti para seteru salib (3:18-19), bukan pula seperti orang-orang dunia lainnya (2:15). Sebagai warga negara sorga kita menggunakan perspektif kekekalan dalam memandang dan melakukan segala sesuatu.
Perspektif kekekalan akan mendorong kita untuk menantikan kedatangan Kristus Yesus yang kedua kalinya (3:20b). Apa gunanya memiliki perspektif sorgawi tetapi pikirannya hanya tertuju pada perkara-perkara duniawi? Mereka yang memiliki kebanggaan terhadap statusnya sebagai warga negara sorga pasti ingin secepatnya berada di sana. Kalau kita tidak menginginkan keindahan sorga, mungkin dunia sudah terlanjur terlihat indah di mata kita. Sama seperti jemaat mula-mula, kita seharusnya selalu menantikan kedatangan Kristus kedua kalinya (Mat. 6:10a; 1Kor. 16:22).
Lalu bagaimana kita seharusnya menantikan sorga? Pertama, kita menantikan dengan sungguh (ayat 20b). Terjemahan LAI:TB “menantikan” (apekdechomai) sebenarnya kurang begitu kuat. Mayoritas versi Inggris memilih terjemahan “menantikan dengan sungguh-sungguh” (NASB.NIV/NLT “eagerly wait”). Tambahan makna “dengan sungguh-sungguh” ini terlihat jelas di Roma 8:19-25. Kata apekdechomai muncul tiga kali (ayat 19, 23, 25) dalam konteks penderitaan semua makhluk yang sama-sama menantikan pemulihan segala sesuatu. Penderitaan ini bahkan digambarkan seperti orang yang sakit bersalin. Ibu-ibu yang sedang berjibaku melahirkan pasti ingin semua proses ini segera selesai. Mereka sungguh-sungguh menantikan si bayi keluar dengan selamat.
Kedua, kita menantikan dengan benar (ayat 20b-21a). Ada beragam alasan mengapa orang merindukan sorga. Beberapa hanya menjadikan sorga sebagai pelarian dari segala penderitaan di dalam dunia. Beberapa yang lain menginginkan sorga tetapi dengan nafsu dunia (misalnya memiliki banyak emas dan permata atau kenikmatan duniawi lainnya). Paulus menegaskan di sini bahwa kita menantikan Seorang Pribadi, yaitu Yesus Kristus. Secara khusus, Paulus membicarakan Pribadi Kristus sebagai Juruselamat kita.
Status Kristus sebagai Juruselamat ini dihubungkan dengan transformasi tubuh kita (ayat 21a). Tubuh kita yang hina akan diubah menjadi tubuh yang mulia. Tubuh yang berdosa akan diubah menjadi tubuh yang sempurna. Semua ini hanya dimungkinkan melalui kebangkitan Kristus. Sebagaimana Dia bangkit dengan tubuh kemuliaan, demikian pula kita semua akan diberi tubuh yang sama. Tubuh yang tidak takluk kepada kuasa dosa maupun upah maut. Tubuh yang seutuhnya akan digunakan untuk kemuliaan Tuhan.
Ketiga, kita menantikan dengan yakin (ayat 21b). Pengharapan kita tertuju kepada Pribadi, bukan benda. Tidak hanya itu. Pribadi yang dinantikan ini juga memiliki kuasa yang tidak terbatas. Kuasa yang digunakan oleh Kristus untuk mengubah tubuh kita adalah kuasa yang sama yang Dia gunakan untuk menaklukkan segala sesuatu yang ada. Transformasi tubuh bukanlah sebuah gagasan belaka. Semua pasti akan dikerjakan oleh Kristus.
Kepastian ini perlu untuk diberitakan senantiasa. Iman kita kadang tidak stabil. Situasi tertentu kadang melemahkan iman kita. Puji Tuhan! Pemenuhan janji Tuhan tentang transformasi tubuh tidak didasarkan pada kondisi perasaan kita, melainkan pada kuasa Kristus atas segalanya. Dia yang telah menunjukkan kuasa-Nya melalui kebangkitan dari antara orang mati pasti akan dan pasti mampu membangkitkan tubuh kita yang fana ini. Soli Deo Gloria.