Manusia cenderung mengidolakan orang lain. Ketika seseorang memiliki idola, dia mencoba mengikuti apa saja yang dilakukan oleh sang idola. Dari penghargaan menjadi keteladanan. Dari kekaguman menjadi peniruan.
Tidak semua pengidolaan pada dirinya sendiri merupakan sebuah kekeliruan. Pengidolaan bahkan bisa menjadi hal yang positif jika yang diikuti adalah nilai hidup dan gaya hidup yang baik dari sang idola. Pengidolaan baru menjadi kekeliruan jika berubah menjadi pengultusan. Pengidolaan juga menjadi keliru apabila hal-hal yang ditiru memang keliru.
Teks hari ini mengajarkan pentingnya meneladani orang-orang yang tepat. Paulus sebelumnya sudah menjelaskan kepada jemaat Filipi tentang pentingnya cara berpikir yang benar supaya mereka bisa bertumbuh menuju kesempurnaan (3:12-16). Mereka harus memandang diri belum sempurna dan terus-menerus berlomba secara serius untuk mencapai garis akhir. Tetapi memiliki pemikiran yang benar dan mengetahui cara bertanding saja tidaklah cukup. Setiap orang membutuhkan teladan atau model. Contoh konkrit. Itulah yang dibahas di 3:17-19.
Nasihat untuk meneladani dan mengamati (ayat 17)
Kata benda “pengikutku” (symmimētai mou) muncul di awal untuk penekanan. Itulah sebabnya dia secara sengaja memisahkan “jadilah pengikutku” (ayat 17a) dengan “perhatikan mereka…” (ayat 17b). Bukan berarti Paulus merasa diri lebih hebat daripada orang-orang lain. Dia hanya ingin memaksimalkan relasinya yang khusus dan baik dengan jemaat Filipi.
Apakah Paulus sedang menyombongkan diri seolah-olah dia sudah baik? Tentu saja tidak! Paulus sudah menyatakan secara jelas dan beberapa kali bahwa dia belum sempurna (3:12-14). Kita juga tidak boleh melupakan bahwa mengikuti teladan Paulus berarti mengikuti kerendahhatiannya yang mau mengakui bahwa dirinya tidak sempurna. Jika Paulus ingin menyombongkan dirinya, untuk apa dia menyertakan orang-orang lain sebagai figur teladan (3:17b)? Sekali lagi, dia hanya ingin memaksimalkan kedekatannya dengan jemaat Filipi demi kepentingan jemaat sendiri.
Tambahan di ayat 17b “perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu” memberi beberapa penjelasan yang bermanfaat untuk memahami keteladanan. Yang perlu diteladani bukan hanya yang dekat atau yang dihargai secara khusus oleh jemaat Filipi (baca: Paulus), tetapi orang-orang lain juga. Paulus mungkin memikirkan Timotius (2:19-24) dan Epafroditus (2:25-30). Ayat 17b juga mengajarkan bahwa keteladanan lebih berkaitan dengan gaya hidup seseorang, bukan pribadi seseorang (“yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu” = lit. “yang hidup menurut teladan/pola yang kalian miliki di dalam kami”). Keteladanan juga dimulai dari memerhatikan (skopeō; melihat dengan seksama, bdk. 2Kor. 4:18; Flp. 2:4), tidak bisa sambil lalu saja. Meneladani seseorang harus dilakukan secara intensional.
Dalam beberapa konteks kata “memerhatikan” (skopeō) mengandung makna “waspada” atau “berhati-hati” (Rm. 16:17; Gal. 6:1). Jika ini yang dipikirkan oleh Paulus, dia mungkin sedang mengaitkan nasihat di sini dengan kata “berhati-hati” (blepō) di 3:2. Maksudnya, kita tidak boleh hanya mengamati orang-orang yang salah, tetapi juga yang benar. Sama seperti kita harus benar-benar mengamati guru-guru palsu (supaya tidak mengikuti kesesatan mereka), kita juga harus benar-benar mengamati orang-orang yang rohani (supaya bisa mengikuti kesalehan mereka).
Alasan di balik nasihat (ayat 18-19)
Kata sambung “karena” (gar) dengan jelas menunjukkan alasan, tetapi maksud persisnya tidak terlalu jelas. Apakah Paulus kuatir jemaat Filipi akan menjadi seteru salib? Tampaknya bukan begitu. Tidak ada nada kecaman yang keras untuk jemaat Filipi (bdk. Gal. 1:6-10; 2:12-14). Paulus bahkan menegaskan bahwa kewarganegaraan jemaat Filipi bersifat sorgawi (3:19-20). Di awal surat dia juga meyakini bahwa Allah yang telah memulai yang baik dalam jemaat Filipi akan meneruskannya sampai kedatangan Kristus (1:6).
Lalu apa maksud Paulus di ayat 18-19? Dia sangat mungkin sedang mengantisipasi bahaya kewajaran. Maksudnya, gaya hidup yang bertabrakan dengan Injil sudah sedemikian marak di dunia ini (“banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus”). Dalam teks Yunani kata “banyak orang” (polloi) bahkan muncul paling awal di ayat 18. Melalui bagian ini Paulus ingin mengingatkan jemaat Filipi bahwa walaupun banyak orang melakukannya (menjadi seteru salib), jemaat Filipi tidak boleh melihat situasi ini sebagai hal yang biasa atau wajar. Yang wajar belum tentu benar.
Tidak menganggap dosa sebagai hal yang biasa adalah satu hal. Menyikapinya dengan segenap jiwa adalah hal yang berbeda. Paulus memberikan teladan dalam hal ini. Banyaknya orang yang menjadi seteru salib benar-benar meresahkan Paulus. Dia berkali-kali menyinggung tentang hal ini (“seperti yang kerap kali kukatakan kepadamu”) karena dia menganggap hal ini penting untuk diperhatikan. Walaupun dia berkali-kali mengutarakannya, dia tetap tersentuh dengan situasi ini (“yang kunyatakan pula sekarang sambil menangis”). Paulus bukan cuma bisa mengkritisi, tetapi juga menangisi. Kepeduliannya sampai menyentuh jiwa.
Yang membuat Paulus menangis adalah kesudahan mereka. Kesudahan mereka adalah kebinasaan (ayat 19a). Paulus tidak bersedih karena pelayanannya terganggu oleh kejahatan mereka. Dia tidak bersedih karena mereka bebas berbuat dosa dan tidak kunjung dihukum oleh Allah. Sebaliknya, dia bersedih karena kesudahan mereka adalah kebinasaan.
Para penafsir Alkitab mencoba menebak kelompok mana yang disebut oleh Paulus sebagai “seteru salib Kristus.” Sebagian mengaitkannya dengan pengikut antinomianisme (faham yang anti hukum dan hidup secara sembarangan). Keterangan di ayat 19 sekilas memang mengarah ke sana (kerakusan, percabulan dan materialisme). Namun, penafsiran ini kurang didukung oleh konteks. Dari awal pasal 3 Paulus sedang menyoroti guru-guru sesat dari kalangan Yudaisme. Mereka justru ingin menjadikan ketaatan ada Taurat sebagai syarat keselamatan. Paulus tampaknya tidak akan mengubah topik persoalan secara tiba-tiba ke arah antinomianisme.
Pandangan yang lebih masuk akal adalah mengaitkan seteru salib Kristus dengan guru-guru palsu dari kalangan Yahudi. Konteks keseluruhan dari awal memang mendukung ke arah sana. Selain itu. Frasa “Tuhan mereka adalah perut mereka” (3:19a) terdengar mirip dengan teguran Paulus kepada orang-orang Yahudi di jemaat Roma yang getol dengan aturan-aturan tentang makanan (Rm. 16:18 “Sebab orang-orang demikian tidak melayani Kristus, Tuhan kita, tetapi melayani perut mereka sendiri”; bdk. Rm. 14-15). Jika “aib” (aischynē, Flp. 3:19b) merujuk pada alat kelamin (Why. 3:18 “ketelanjanganmu yang memalukan” = hē aischynē tēs gymnotētos), frasa tersebut mungkin merujuk pada sunat yang dibanggakan oleh guru-guru palsu (Flp. 3:2 “penyunat-penyunat palsu”). Dugaan ini tidak berlebihan karena Paulus di tempat lain pernah mengaitkan aib dengan sesuatu yang tersembunyi (2Kor. 4:2). Lagipula frasa “pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi” (Flp. 3:19c) mengingatkan kita pada nasihat Paulus kepada jemaat di Kolose (Kol. 3:1-2) dalam kaitan dengan guru-guru palsu dari kalangan Yudaisme yang mengagung-agungkan aturan-aturan manusiawi mereka (Kol. 2:16-23). Jika semua penjelasan di atas digabungkan, kita memiliki alasan yang cukup kuat untuk menafsirkan “seteru salib Kristus” sebagai rujukan bagi guru-guru palsu yang mengharuskan sunat dan Taurat sebagai syarat keselamatan.
Jika penafsiran ini adalah benar, kita bisa melihat bahwa menjadi seteru salib Kristus tidak selalu berwujud tindakan yang tidak bermoral. Sebaliknya, moralisme bisa juga menjadi seteru salib. Menjadi seteru salib Kristus tidak selalu berwujud tindakan yang tanpa hukum. Legalisme justru berpotensi menjadi seteru salib Kristus. Dengan kata lain, berbuat baik tanpa mengaitkannya dengan Injil atau berbuat baik sebagai syarat keselamatan merupakan perseteruan terhadap salib Kristus. Ternyata seteru salib Kristus tidak selalu orang yang lalim, melainkan yang tampak alim. Bukan yang tidak berbuat baik, tetapi yang mengandalkan perbuatan baik.
Apakah kita selama ini kawan atau lawan salib Kristus? Apa yang kita banggakan dalam kehidupan? Apa yang kita andalkan dalam keselamatan? Kiranya kita semua selalu berpaut pada Injil saja. Soli Deo Gloria.
Photo by Mads Schmidt Rasmussen