Pertandingan olah raga kadangkala ditutup dengan peristiwa dramatis yang tidak terduga. Tim yang tertinggal jauh pada akhirnya bisa menyamakan posisi, bahkan memenangkan pertandingan. Ada banyak faktor yang turut berperan. Yang paling dominan adalah mentalitas (cara berpikir). Mentalitas juara membuat seseorang tidak menyerah sebelum pertandingan benar-benar berakhir. Di sisi lain lain tim yang memimpin lebih dulu bisa menjadi pongah dan lengah. Harga yang dibayar tentu saja sangat menyakitkan.
Hal yang sama terjadi pada perjalanan spiritual. Peranan cara berpikir yang benar tidak boleh diremehkan. Pemikiran menentukan pertumbuhan. Sebaliknya, pemikiran yang buruk akan menghambat pertumbuhan. Yang merasa sudah tiba di tujuan pasti tidak akan bergairah melanjutkan perjalanan.
Salah satu faktor utama penghambat pertumbuhan spiritual banyak orang adalah kepuasan atau kesombongan. Mereka merasa diri sudah cukup baik sehingga sukar untuk berjuang menjadi lebih baik. Persoalan inilah yang dibahas oleh Paulus dalam teks kita hari ini.
Kata sambung “karena itu” (oun) di awal ayat 15 menunjukkan bahwa bagian ini merupakan kelanjutan dari bagian sebelumnya (ayat 12-14). Secara lebih spesifik, ayat 15-16 merupakan aplikasi dari apa yang diajarkan di ayat 12-14. Apa yang sudah disampaikan di ayat 12-14 menuntut respons tertentu.
Respons seperti apa yang diharapkan? Bagaimana kita bisa terus-menerus mengalami pertumbuhan spiritual? Paulus mengajarkan tiga hal.
Cara berpikir yang benar (ayat 15a)
Nasihat pertama Paulus terdengar cukup sederhana: “Karena itu marilah kita, yang sempurna, berpikir demikian.” Kata kerja “berpikir” (phroneō) merupakan salah satu kata penting yang paling sering muncul di surat ini. Kata ini muncul 10 kali (1:7; 2:2, 5; 3:15, 19; 4:2, 10). Arti yang disampaikan lebih mengarah pada cara berpikir (how) daripada apa yang dipikirkan (what).
Dari semua pemunculan di atas kita mengetahui bahwa cara berpikir memang menentukan dalam banyak hal, baik yang positif maupun negatif. Baik Paulus (1:7) maupun jemaat Filipi (4:10) sama-sama memikirkan satu sama lain. Bentuk kesatuan dalam jemaat melibatkan kesatuan pemikiran (2:2; 4:2). Pemikiran bukan hanya harus satu, tetapi sama dengan pemikiran Kristus (2:5). Di sisi lain, mereka yang duniawi dan menjadi seteru salib Kristus juga dipengaruhi oleh cara berpikir mereka yang keliru (3:19 “pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi”).
Kata “demikian” (touto) dalam frasa “berpikir demikian” merujuk balik pada ayat 12-14. Paulus sedang mendorong jemaat Filipi untuk menyadari bahwa tidak ada seorangpun yang sudah sempurna atau tiba di tujuan (ayat 12-13a). Semua orang masih dalam proses menuju garis akhir untuk mendapatkan hadiah (ayat 13b-14).
Yang menarik untuk digarisbawahi di sini adalah pemunculan kata “yang sempurna” (LAI:TB, teleioi). Jika memang semua orang belum menjadi sempurna (ayat 12, teteleiōnai), mengapa Paulus menggunakan kata “sempurna” untuk sebagian jemaat Filipi? Apakah dua ayat tersebut kontradiktif? Tentu saja tidak!
Ada tiga kemungkinan jawaban. Paulus mungkin sedang menyindir para pengajar sesat yang menganggap diri mereka sudah sempurna (3:1-3). Dengan kata lain, penggunaan teleioi di 3:15a merupakan sebuah sarkasme. Kemungkinan lain, Paulus sedang memikirkan kesempurnaan secara posisional di dalam Kristus. Di dalam Kristus semua orang percaya sudah disempurnakan, walaupun mereka secara aktual belum sempurna. Kemungkinan yang lain lagi, Paulus sedang menggunakan kata teleioi dengan arti yang berbeda. Kata ini lebih mengarah pada “dewasa” daripada “sempurna” (mayoritas versi Inggris).
Opsi pertama kurang sesuai dengan gaya penulisan di Surat Filipi. Paulus tidak pernah menggunakan sarkasme di surat ini (bandingkan dengan Surat 1 Korintus yang banyak diwarnai sarkasme). Lagipula nuansa nasihat di ayat 15 bukan negatif. Opsi kedua terlalu dogmatis. Konteks pasal 3 tidak berkaitan dengan konsep kesempurnaan secara posisi dalam Kristus. Paulus hanya sempat menyinggung tentang pembenaran, bukan kesempurnaan, dalam Kristus (3:9).
Opsi terakhir tampaknya lebih menjanjikan. Kata sifat teleios atau kata kerja teleioō memang bisa berarti sempurna atau dewasa. Dalam tulisan Paulus kata ini lebih sering merujuk pada kedewasaan (1Kor. 2:6; Ef. 4:13; Kol. 4:12) atau dikontraskan dengan kanak-kanak (1Kor. 13:10-11; 14:20). Kata ini baru berarti “sempurna” jika konteksnya merujuk pada tujuan akhir perjalanan spiritual (Kol. 1:28b “untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus”). Data ini konsisten dengan konteks Filipi 3. Dalam kaitan dengan tujuan akhir (hadiah sorgawi), kata teleios atau teleioō berarti kesempurnaan (3:12). Dalam kaitan dengan kondisi orang percaya sekarang (3:15a “kita yang sempurna/dewasa”), kata tersebut lebih mengarah pada kematangan.
Jika tafsiran ini benar, kita belajar satu hal penting tentang pertumbuhan spiritual. Kesempurnaan merupakan tujuan, bukan pencapaian. Semua orang masih berada di tengah perjalanan.
Intervensi ilahi (ayat 15b)
Tidak peduli seberapa dekat dan baik relasi Paulus dengan jemaat Filipi, Paulus tetap menyadari keterbatasannya dalam menolong pertumbuhan rohani mereka. Beberapa jemaat yang dewasa (3:15a) mungkin akan menyetujui apa yang disampaikan oleh Paulus di 3:12-14. Bagaimanapun, mungkin ada beberapa yang lebih tertarik dengan ajaran kesempurnaan versi para pengajar sesat. Sesuai dengan tata bahasa dan konteks, kata “jika” (ei) di 3:15b menyiratkan kemungkinan atau situasi yang sangat riil.
Apakah situasi ini dipandang oleh Paulus sebagai sebuah kegagalan? Tidak juga! Masih ada Allah yang akan campur tangan. Kata “dinyatakan” (apokalypsei, lit. “[Allah] menyatakan”) menyiratkan pengungkapan sesuatu yang sebelumnya tertutup. Yang diungkapkan adalah “hal ini” (touto), sama dengan “demikian” (touto) di ayat 15a. Dengan kata lain, apa yang dikatakan di ayat 12-14 mungkin sementara tertutup di pikiran beberapa jemaat, tetapi nanti Allah akan menunjukkan kebenaran tersebut kepada mereka. Mereka mungkin masih meragukan atau menolak kebenaran tersebut, tetapi Allah pasti akan menyatakannya juga kepada mereka.
Keyakinan ini didasarkan pada kasih karunia dan kesetiaan Allah atas umat-Nya. Sejak awal surat ini Paulus sudah mengajarkan: “Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus” (1:6). Jika Paulus yang dulu menjadi penganiaya jemaat saja bisa dimenangkan oleh kasih karunia Allah (3:8-9), apalagi jemaat Filipi yang memang dari semula sudah beroleh kasih karunia. Allah pasti berkuasa untuk mengembalikan mereka pada kebenaran yang sejati.
Kebenaran ini sangat menguatkan, terutama bagi kita yang sedang bergumul dengan keberdosaan orang-orang yang kita kasihi. Jika mereka dulu sudah bertobat sungguh-sungguh, mereka tidak mungkin terhilang secara penuh. Mereka yang sudah pernah berada di dalam kasih karunia akan berada dalam keadaan baik-baik saja. Kesesatan dan keterpurukan mereka hanyalah sementara. Allah tidak pernah meninggalkan anak-anak-Nya.
Konsistensi dalam proses (ayat 16)
Perjalanan seringkali tidak semudah yang dipikirkan dan diharapkan. Pemikiran yang benar memang diperlukan, tetapi bukan satu-satunya jaminan. Ada banyak tantangan di tengah jalan yang siap menguji keyakinan.
Paulus mendorong jemaat Filipi untuk “melanjutkan menurut jalan yang telah kita tempuh” (tō autō stoichein). Kata kerja “stoicheō” dalam tulisan Paulus merujuk pada tindakan mengikuti jejak (Rm. 4:12), pimpinan (Gal. 5:25) atau patokan (Gal. 6:16). Dalam konteks Filipi 3:16, arti terakhir tampaknya lebih tepat. Ide yang dimaksud di ayat itu adalah mengikuti sebuah standar tertentu (NASB “let us keep living by that same standard”).
Standar yang dimaksud adalah “apa yang telah dicapai” (eis ho ephthasamen). Penerjemah LAI:TB secara tepat menambahkan bahwa apa yang telah dicapai ini berkaitan dengan “tingkat pengertian.” Hal ini sesuai dengan penekanan pada cara berpikir di ayat 12-16. Pertumbuhan rohani seseorang tidak bisa dipisahkan dari cara berpikir orang itu. Mereka yang akal budinya terus-menerus ditransformasi oleh Roh Allah akan lebih mudah memahami kehendak Allah (Rm. 12:2b).
Yang penting di sini adalah perjalanan yang konsisten. Bukan saja konsisten berjalan, tetapi juga konsisten mengikuti cara pandang yang benar. Asal berjalan belum tentu menyiratkan perkembangan suatu perjalanan. Berjalan tidak seturut patokan adalah kesesatan. Demikian pula jika kita hanya berhenti pada jalan yang benar. Kita tidak akan mengalami kemajuan. Pertumbuhan spiritual membutuhkan jalan yang benar dan semangat berjalan yang besar. Dalam kedaulatan dan anugerah Tuhan, mereka yang bertekun dalam proses pasti akan mengalami progres. Soli Deo Gloria.
Photo by Andrea Leopardi on Unsplash