Kita hidup di tengah dunia yang mengedepankan kehebatan dan pencapaian diri. Harga diri seseorang bahkan seringkali diukur dari apa yang dia miliki, raih, atau hasilkan. Manusia menjadi pusat perhatian dan kesuksesan. Ditambah dengan natur berdosa yang cenderung pada kesombongan, sebagian besar orang berlomba memamerkan apa yang mereka bisa dan apa yang mereka punya. Sangat sukar bagi seseorang untuk memandang segala sesuatu sebagai pemberian dari Tuhan.
Situasi yang sama muncul pada saat orang membicarakan tentang keselamatan. Menerima perkenanan Allah atas dasar anugerah tidak semudah yang dibayangkan. Sebagian orang ingin dianggap berjasa dalam prosesnya. Meeka tidak siap menerima keselamatan dan perkenanan Allah sebagai sebuah pemberian. Mereka ingin melihat keselamatan dan perkenanan Allah sebagai upah, bukan anugerah.
Itulah yang sedang dibicarakan oleh Paulus dalam teks hari ini. Ada bahaya nyata di depan nyata. Sebagian orang Kristen dari kelompok Yahudi belum bisa sepenuhnya menanggalkan konsep dan praktek religius yang lama. Bukan hanya itu saja, mereka juga menuntut orang Kristen dari luar kelompok Yahudi untuk menyunatkan diri dan mengikuti semua aturan detail Hukum Taurat supaya dianggap rohani atau umat Allah yang sejati. Mereka ingin terlihat berjasa secara spiritual sehingga ada yang dibanggakan.
Ajaran di atas jelas bertabrakan dengan Injil Yesus Kristus. Ini adalah persoalan yang sangat serius. Tidak heran ungkapan-ungkapan yang digunakan oleh Paulus terlihat sangat keras dan (bahkan) sarkastik. Respons emosional yang sama juga ditunjukkan oleh Paulus pada saat dia menanggapi bahaya yang sama di tengah jemaat Galatia. Bagi Paulus, tidak ada kompromi sama sekali terhadap “kabar baik” yang palsu. Injil yang tidak murni bukanlah Injil sama sekali.
Situasi yang sama juga sedang dihadapi oleh gereja-gereja sekarang. Beragam ajaran yang bertabrakan dengan Injil sedang bertebaran di mana-mana. Ironisnya, ajaran-ajaran itu justru didengungkan di mimbar-mimbar gereja. Sebagai contoh, ajaran “taat mendatangkan berkat” seharusnya dilihat sebagai ketetapan Allah yang beranugerah (Allah tidak harus membalas ketaatan dengan berkat tetapi Dia memutuskan untuk melakukannya bagi kita). Dalam kenyataannya, tidak sedikit orang Kristen yang berusaha memanipulasi Allah melalui ketaatan. Mereka lebih berfokus pada pemberian, bukan pada Sang Pemberi.
Bagaimana kita seharusnya menyikapi situasi ini? Apa yang seharusnya kita lakukan? Teks kita hari ini mengajarkan tiga hal penting untuk dilakukan.
Bersukacita di dalam Tuhan (ayat 1a)
Posisi bagian ini sekilas terlihat agak janggal. Kata sifat “akhirnya” (to loipon) di bagian awal sekilas menyiratkan bagian ini sebagai penutup bagi pembahasan sebelumnya. Paulus mungkin bermaksud mengakhiri suratnya di bagian ini, tetapi dia berubah pikiran, lalu melanjutkan dengan 3:1b sampai selesai. Tidak heran beberapa versi memberi penomoran ayat 1a untuk bagian ini seolah-olah bagian ini tidak terlalu berhubungan dengan ayat 1b-4a.
Dugaan di atas terlalu spekulatif. Kata to loipon juga bisa diterjemahkan “selanjutnya” (YLT “As to the rest”; bdk. 2Tes. 3:1). Dalam surat Paulus yang lain kata ini memang muncul di bagian tengah surat, bukan penutup (1Tes. 4:1). Jadi, to loipon merupakan transisi ke topik yang baru.
Jika terjemahan ini diterima, kita sebaiknya memandang perintah “bersukacitalah dalam Tuhan” sebagai respons awal terhadap isu di 3:1-16, yaitu bahaya percampuran Yudaisme dan kekristenan. Ide tentang sukacita sudah muncul berkali-kali dalam surat ini (1:18, 25; 2:17, 18, 29). Kali ini (dan selanjutnya) Paulus menambahkan frasa “di dalam Tuhan” (4:1, 4, 10). Penambahan frasa ini di 4:1 sangat mungkin bukan sekadar slogan belaka. Ada maksud teologis tambahan di dalamnya. Paulus sangat mungkin sedang memikirkan persekutuan orang percaya di dalam kematian dan kebangkitan Kristus (3:10-11). Maksudnya, jemaat Filipi diperintahkan untuk bersukacita atas dasar posisi mereka di dalam Kristus. Mereka telah memperoleh Kristus dan berada di dalam Dia melalui anugerah Allah di dalam karya penebusan Kristus (3:8-9).
Lebih jauh, Paulus mengucapkan poin di atas sebagai sebuah perintah: bersukacitalah! Ini bukan sekadar kondisi perasaan, melainkan tindakan. Ini bukan sekadar suasana hati alamiah yang muncul dari suatu keadaan yang menyenangkan. Ini adalah perintah untuk dilakukan. Ada wujud nyata dari sukacita ini. Jemaat Filipi diperintahkan untuk merayakan posisi mereka di dalam Kristus dengan penuh sukacita.
Mengapa perintah untuk bersukacita sangat penting untuk diucapkan di tengah bahaya ajaran sesat dari pihak orang-orang Yahudi Kristen? Dengan mensyukuri anugerah Allah di dalam Kristus, jemaat Filipi tidak akan mudah tergiur dengan ajaran atau agama lain yang sekilas terlihat menarik dengan semua ritual dan aturan religius mereka. Mereka memiliki kepuasan di dalam Allah melalui Injil Yesus Kristus.
Mewaspadai bahaya yang ada (ayat 1b-2)
Banyak orang binasa dalam bahaya bukan karena mereka tidak memiliki kemampuan atau peralatan, tetapi karena mereka tidak memiliki kewaspadaan. Mereka mungkin tidak mendapatkan peringatan, meremehkan peringatan atau tidak memiliki kesiapan. Ketika bahaya datang, mereka hanyut dalam kebinasaan.
Hal yang sama dapat terjadi pada kerohanian kita. Kepastian keselamatan di dalam Kristus bukan alasan untuk bertindak sembarangan atau meremehkan kewaspadaan. Itulah sebabnya Paulus juga tidak jemu-jemu memberikan peringatan. Dia menegaskan bahwa menuliskan hal-hal yang sama berulang-ulang bukanlah sesuatu yang memberatkan dia (ayat 1b). Semua itu ditujukan untuk keselamatan jemaat Filipi (ayat 1c “memberi kepastian kepadamu”). Dalam teks Yunani kata “kepadamu” (lit. “bagi kalian”) diletakkan di depan sebagai penekanan. Kepastian (asphalēs) di sini merujuk pada keamanan iman jemaat Filipi (NLT “to safeguard your faith”). Jadi, Paulus tidak pernah menganggap sesuatu sebagai beban yang berat jika hal itu berguna untuk pertumbuhan iman seseorang.
Paulus tidak hanya bersedia mengulang apa yang dia sudah sampaikan sebelumya. Dia juga menggunakan kata “hati-hatilah” (blepete) sebanyak tiga kali (ayat 2). Pengulangan ini menyiratkan penegasan tentang situasi yang benar-benar membahayakan. Jemaat Filipi tidak boleh menyepelekan situasi yang ada. Mereka perlu diingatkan tentang siapa yang mereka hadapi.
Ungkapan yang digunakan oleh Paulus di ayat 2 memang terkesan sangat keras (dan kasar) di telinga orang pada zaman sekarang. Namun, kita perlu memahaminya sesuai budaya pada waktu itu. Istilah “anjing-anjing” (tous kynas) merujuk pada anjing liar yang dipandang sebagai binatang yang rendah dan berbahaya dalam budaya Romawi. Anjing juga dianggap najis dalam budaya Yahudi. Walaupun bukan dalam bentuk umpatan, sebutan “anjing” seringkali digunakan untuk merendahkan seseorang. Penggunaan sebutan ini di ayat 2 merupakan pembalikan keadaan. Para pengajar sesat yang menganggap orang-orang Kristen non-Yahudi “najis” (tidak bersih sepenuhnya di hadapan Allah) ternyata justru dipandang “najis” oleh Paulus.
Sebutan lain yang digunakan adalah “pekerja-pekerja yang jahat” (tous kakous ergatas). Ungkapan ini juga pembalikan keadaan. Dengan menuruti aturan detail Taurat para pengajar sesat beranggapan bahwa mereka mengerjakan kebenaran Allah, tetapi di mata Allah mereka justru mengerjakan kejahatan. Mereka menolak kebenaran Allah dan ingin mendirikan kebenaran mereka sendiri. Ini adalah perlawanan, bukan ketaatan, kepada Allah.
Sebutan terakhir adalah “penyunat-penyunat yang palsu” (tēn katatomēn). Terjemahan ini (LAI:TB/NASB) masih terlalu halus. Sebagian versi lain menggunakan terjemahan “mutilator daging” (RSV/NIV/ESV). Kata yang digunakan memang bukan peritomē (memotong melingkar alias sunat), tetapi katatomē (memotong menjadi bagian kecil-kecil alias mutilasi). Jika digabungkan dengan kiasan tentang anjing liar dan pekerja jahat, kata mutilator di sini memberikan gambaran yang sangat mengerikan tentang para pengajar sesat. Jemaat Filipi benar-benar harus meningkatkan kewaspadaan.
Mengenali identitas kita di dalam Kristus (ayat 3-4a)
Pada bagian ini Paulus menerangkan siapa kita di hadapan Allah. Pemunculan kata ganti “kita” (hēmeis) dan di awal ayat 3 menunjukkan penegasan: kita, bukan para pengajar sesat itu. Kitalah orang-orang yang bersunat, yang beribadah oleh Roh Allah, bermegah dalam Kristus Yesus, dan tidak menaruh kepercayaan pada hal-hal lahiriah. Apa yang ditawarkan oleh para pengajar sesat melalui sunat dan ketaatan legalistik pada Hukum Taurat sebenarnya sudah kita dapatkan sebagai pemberian dari Allah melalui karya penebusan Kristus. Untuk apa kita tergiur dengan sesuatu yang kita sebenarnya sudah miliki?
Orang-orang yang percaya kepada Kristus merupakan golongan bersunat (ayat 3a). Tentu saja yang dimaksud di sini adalah sunat secara rohani (Rm. 2:28-29). Sunat di dalam hati. Dalam hal ini Paulus tidak mengada-ada. Sejak dulu Allah memang sudah menjanjikan hal ini: “Dan TUHAN, Allahmu, akan menyunat hatimu dan hati keturunanmu, sehingga engkau mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, supaya engkau hidup” (Ul. 30:6). Sunat inilah yang memampukan orang percaya untuk menaati perintah Allah dengan dasar kasih kepada-Nya, bukan mengharapkan sesuatu dari Dia.
Bagi Paulus, umat Allah dari dulu adalah umat pilihan. Keturunan Abraham atau Israel tidak pernah didasarkan pada faktor etnis (biologis). Semua didasarkan pada pilihan (Rm. 9:6). Hanya ada satu umat dari dulu sampai sekarang. Umat pilihan ini didasarkan pada pilihan-Nya yang beranugerah.
Orang percaya juga disebut sebagai umat “yang beribadah oleh Roh Allah” (ayat 3b). Dalam tulisan Paulus kata “beribadah” (latreuō) hanya muncul beberapa kali, dan hampir seluruhnya berhubungan dengan hati (Rm. 1:9 “yang kulayani dengan segenap hatiku”; 2Tim. 1:3 “yang kulayani dengan hati nurani yang murni”). Penambahan frasa “oleh Roh Allah” semakin memberi dukungan bahwa Paulus sedang mengontraskan antara ibadah yang hanya dari luar (diajarkan oleh guru-guru palsu dari Yudaisme) dengan ibadah yang sejati di dalam hati (dimungkinkan oleh karya Roh Kudus). Sebagaimana sunat yang sejati terjadi di dalam hati, demikian pula dengan ibadah yang sejati. Dua-duanya merupakan karya Roh Kudus melalui Injil Yesus Kristus.
Ide tentang “bermegah dalam Kristus Yesus” (ayat 3c) di sini sengaja dimunculkan sebagai kritikan terhadap kemegahan para pengajar sesat pada usaha mereka sendiri. Tindakan “bermegah” (kauchaomai) sendiri bersifat netral, tergantung pada apa yang dimegahkan. Konsep tentang anugerah bukan perendahan terhadap manusia. Sebaliknya, anugerah memberi landasan yang kokoh bagi kehormatan dan kebanggaan yang sesungguhnya. Arti hidup ditentukan terutama oleh apa yang Allah lakukan bagi kita, bukan sebaliknya.
Jika kita sudah memiliki Allah sebagai dasar kemegahan, kita tidak akan menaruh kepercayaan pada hal-hal lahiriah (ayat 3d). Secara hurufiah, “hal-hal yang hurufiah” berarti “daging” (sarx). Jika Allah melihat ke dalam hati, untuk apa kita menyombongkan daging? Jika yang penting adalah karya Allah dalam hati kita, untuk apa kita membanggakan karya kedagingan kita kepada-Nya? Soli Deo Gloria.
Photo by Aaron Burden on Unsplash