
Beberapa kali kita dikejutkan dengan berita kecelakaan maut yang terjadi di tempat wisata. Peristiwa semacam ini terdengar sangat miris dan ironis. Orang pergi ke tempat wisata untuk menikmati kesenangan dan kenyamanan, tetapi yang didapati justru kecelakaan dan kematian. Banyak orang tidak menduga. Dalam ketidaktahuan, mereka justru membawa diri ke dalam bahaya.
Yang paling menyedihkan adalah orang-orang yang sengaja menantang bahaya. Mereka sadar ada larangan dengan tujuan untuk menghindari ancaman kematian, tetapi mereka sengaja tidak mempedulikan. Merasa sok hebat dan kuat, mereka justru bersua maut. Kematian ternyata jauh lebih dekat daripada yang mereka perkirakan.
Keadaan bangsa Israel pada zaman Amos lebih mirip dengan situasi yang kedua. Merasa aman padahal semakin dekat dengan kebinasaan. Bersenang-senang sementara bahaya sebentar lagi datang.
Teguran dalam teks kita ditujukan pada “orang-orang terkemuka dari bangsa yang utama” (6:1). Sebutan ini menunjukkan posisi mereka yang tinggi di antara bangsa Israel sekaligus posisi bangsa Israel yang tinggi di antara bangsa-bangsa lain. Mereka adalah orang-orang yang sangat kaya (6:4-6). Pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat dan keadaan militer yang kuat selama pemerintahan Raja Yerobeam II membuat orang-orang kaya di sana merasa lebih hebat. Mereka memandang rendah bangsa lain (lihat “dari bangsa yang utama”).
Secara khusus yang mereka banggakan adalah tradisi religius dan prestise sosial mereka. Petunjuk pada tradisi religius terlihat dari pemunculan “Sion” (bukan hanya Yerusalem) dan “gunung Samaria” (bukan hanya kota Samaria). Dua lokasi ini sejak lama sudah menjadi kebanggan religius. Petunjuk pada prestise sosial terlihat dari “orang-orang yang kepada mereka kaum Israel biasa datang!” Banyak orang datang kepada mereka untuk meminta pertimbangan dan pertolongan. Kelebihan secara spiritual dan sosial ini membuat mereka merasa aman dan tentram. Hidup terlihat sempurna: kaya, religius, dan berhikmat.
Allah menegur mereka dengan keras. Bukan karena Allah tidak ingin manusia mendapatkan keamanan dan ketentraman. Sebaliknya, Allah ingin memberikan keamanan dan ketentraman yang sejati. Untuk membuat yang asli dihargai, yang palsu seringkali dibuat malu.
Teguran Amos terdiri dari tiga bagian.
Bangsa Israel tidak beda dengan bangsa lain (ayat 2)
Merasa diri nomor satu seringkali menjadi bumerang bagi banyak orang. Mereka terlalu banyak memandang ke dalam (pada diri sendiri), bukan keluar (pada orang lain). Mereka merasa jumawa dengan menganggap diri mereka berbeda dari yang lainnya.
Dengan segala kelebihan yang dimiliki mereka bangsa Israel meyakini posisinya yang unik di hadapan Allah dan sesama. Mereka akan diperlakukan secara berbeda oleh Allah. Mereka spesial. Mereka dikagumi banyak orang.
TUHAN memerintahkan mereka untuk melihat situasi di luar secara lebih dekat (“menyeberanglah..lihat-lihatlah…berjalanlah…pergilah”). Mereka terlalu lama diperbudak narsisme. Lensa arogani harus segera diganti dengan observasi objektif melalui visitasi.
Jika ini dilakukan, bangsa Israel akan tahu bahwa mereka tidak berbeda dari bangsa-bangsa lain. Bangsa Israel tidak lebih baik daripada bangsa-bangsa lain. Demikian pula bangsa-bangsa itu tidak lebih besar daripada Israel. Superioritas etnis adalah palsu. Di mata Sang pencipta semua bangsa adalah sama.
Melalui ayat ini Amos sedang mengingatkan bangsa Israel untuk tidak berlindung di bawah rasa aman mereka yang palsu. Mereka tidak diperlakukan oleh Allah secara beda. Apa yang terjadi pada bangsa lain dapat terjadi pada mereka.
Bangsa Israel mempercepat hari penghukuman (ayat 3-6)
Ide tentang rasa aman yang palsu (5:18-20) kembali ditegaskan di ayat 3. Bangsa Israel merasa aman-aman saja. Hari TUHAN diangap tidak ada. Kalaupun datang, hal itu masih akan lama.
Konsep yang keliru ini membawa pada perilaku yang keliru pula. Bangsa Israel memilih untuk menikmati hidup dengan segala kesenangannya (6:4-6). Mereka tidak sadar bahwa dengan melakukan demikian mereka sedang mempercepat kedatangan hari TUHAN. Penghukuman sudah ada di tengah jalan dan sebentar lagi datang (6:3).
Gambaran detail di ayat 4-6 mungkin diungkapkan dalam konteks upacara kematian (ayat 6b “tidak berduka karena hancurnya keturunan Yusuf!”). Sama seperti di banyak budaya, upacara penguburan seringkali diwarnai dengan pesta. Perjamuan makan diadakan untuk masyarakat yang datang. Perjamuan dilakukan sebagai apresiasi terhadap yang datang dan penghormatan bagi yang meninggal. Ironisnya, mereka yang datang untuk berbela sungkawa seringkali justru lebih menyukai pestanya daripada menangisi kepergian yang meninggal dunia.
Orang-orang kaya di Israel pada zaman Amos lebih parah lagi. Mereka memanfaatkan momen perkabungan ini untuk memuaskan diri mereka dengan segala kesenangan dan kemewahan. Apa yang dilakukan mereka terbilang tidak wajar (berlebihan). Mereka sedang memamerkan kemewahan di tengah suasana perkabungan.
Dipan dan sofa mereka terbuat dari bahan yang paling mahal (ayat 4a, LAI:TB “tempat tidur..tempat duduk”). Pilihan daging mereka adalah yang terbaik di antara ternak yang ada (ayat 4b “anak-anak domba…anak-anak lembu…binatang yang tambun”). Mereka menganggap diri bisa memainkan dan menciptakan musik seindah Daud (ayat 5). Mereka meminum anggur secara melimpah (langsung dari bokornya!, ayat 6a). Mereka pergi ke pesta dengan parfum yang terbaik (ayat 6b). Sulit membayangkan ada pesta yang lebih mewah daripada yang ini: tempat terbaik, makanan terbaik, musik terbaik, minuman terbaik, dan parfum yang terbaik!
Semua kesenangan ini membuat mereka lupa pada tujuan semula. Upacara perkabungan seharusnya merupakan kesempatan untuk berduka. Perjamuan makan yang disediakan bukanlah alasan maupun tujuan kedatangan.
Bangsa Israel akan mengalami pembuangan (ayat 7)
Memuaskan kesenangan di tengah perkabungan merupakan kesalahan yang sangat ironis. Bagaimana bisa ada orang-orang tertentu yang mengumbar kegembiraan di atas kesedihan orang lain? Tapi itulah yang sedang terjadi pada zaman Amos.
Sebagai respons, TUHAN juga sudah menyediakan sebuah hukuman yang ironis. Orang-orang yang biasa menikmati posisi pertama di Israel juga akan menempati posisi yang sama pada saat pembuangan terjadi (ayat 6 “mereka akan pergi sebagai orang buangan di kepala barisan”). Yang pertama secara sosial akhirnya menjadi yang pertama dalam kehinaan.
Keramaian pesta akan digantikan dengan keramaian prosesi pembuangan. Nyanyian kemenangan dilantunkan dengan kencang. Sebagaimana orang-orang kaya di Israel menikmati pesta di atas penderitaan banyak orang, demikian pula musuh-musuh mereka akan melakukan hal yang sama. Tidak ada lagi pesta dengan semua kebisingan dan kenikmatannya. Bangsa Israel akan tertawan dalam diam sementara musuh-musuh mereka akan berpesta dengan gembira.
TUHAN adalah adil dan benar. Dia tidak kompromi dengan dosa yang ada. Dia tidka berdiam diri. Dia akan menegakkan keadilan dan kebenaran-Nya. Hukuman yang serius menyiratkan keseriusan Allah dalam menangani dosa. Tidak ada seorangpun yang dikecualikan dan dikhususkan. Pola kerja Allah sama untuk semua orang.
Puji Tuhan! Allah juga mengimbangi keadilan dan kebenaran-Nya dengan kemurahan dan belas kasihan (Kel. 34:6-7). Tidak selalu Dia membalas setimpal dengan pelanggaran kita (Mzm. 103:10-11). Bukti terbesar dari hal ini adalah salib Kristus. Di dalamnya keadilan, kebenaran, kemurahan dan belas kasian Allah terpuaskan (Rm. 3:21-26). Soli Deo Gloria.
Photo by Stormseeker on Unsplash