Memahami dengan benar apa yang menjadi esensi dari sesuatu merupakan hal yang sangat penting. Esensi dari sesuatu merupakan elemen terpenting yang membuat sesuatu menjadi sesuatu. Jika esensi itu dihilangkan, semua yang lain menjadi tidak bermakna apa-apa. Jadi, esensi lebih mengarah pada aspek kualitas daripada kuantitas.
Kegagalan untuk memahami esensi dari sesuatu akan menghasilkan perilaku yang keliru pula. Orang mementingkan apa yang tidak penting dan mengabaikan apa yang penting. Akibatnya segala yang dilakukan justru menjadi percuma.
Teks kita hari ini menjelaskan tentang persoalan di atas. Bangsa Israel telah salah memahami esensi ibadah. Apa yang mereka anggap penting ternyata tidak penting di mata Allah (5:26). Apa yang penting di mata Allah justru mereka tidak pedulikan. Mereka bahkan melakukan sebaliknya (5:26). Sebagai konsekuensinya, Allah akan mendatangkan hukuman atas mereka (5:27).
Kekeliruan fatal dalam ibadah (ayat 25-26)
Dalam khotbah sebelumnya kita sudah melihat bahwa tidak semua ibadah menyenangkan hati TUHAN. Bahkan Allah bukan hanya tidak berkenan, tetapi merasa muak dan benci dengan ibadah yang sembarangan (5:21-23). Allah merasa bahwa tidak ada ibadah kepada-Nya lebih baik daripada ada tetapi dilakukan secara sembarangan.
Mengapa ibadah yang salah seperti ini bisa terjadi? Mengapa TUHAN sangat menentang ibadah yang demikian? Dua pertanyaan ini dijawab di ayat 25-26.
Pertama, konsep yang keliru tentang esensi ibadah (ayat 25). Praktek ibadah yang keliru seringkali dimulai dari pemahaman teologis yang keliru pula. Bangsa Israel pada zaman Amos telah keliru memahami esensi sebuah ibadah. Bagi mereka, esensi ibadah adalah persembahan korban dan kehebohan perayaan (5:21-23). Mereka beranggapan bahwa selama ada korban dan nyanyian, TUHAN akan disenangkan. Mereka lupa bahwa ibadah yang benar mencakup seluruh kehidupan. Apa yang mereka lakukan di dalam kebaktian sama pentingnya dengan apa yang mereka lakukan di dalam kehidupan (5:24).
Untuk mengoreksi kesalahan ini, Amos mengingatkan mereka pada masa perjalanan bangsa Israel di padang gurun (5:25). Dengan menggunakan sebuah pertanyaan retoris, Amos mengajak mereka untuk memikirkan esensi ibadah: “Apakah kamu mempersembahkan kepada-Ku korban sembelihan dan korban sajian, selama empat puluh tahun di padang gurun itu, hai kaum Israel?”
Pertanyaan ini tentu saja tidak boleh ditafsirkan seolah-olah tidak ada perintah TUHAN kepada bangsa Israel untuk mempersembahkan korban selama perjalanan di padang gurun (bdk. Kel. 20:5, 22-26; 23:14-19; 24:4-6, dst). Pertanyaan ini juga tidak boleh dipahami seolah-olah bangsa Israel sama sekali tidak pernah mempersembahkan korban kepada Allah (bdk. Kel. 18:12; 24:5; 32:6, dst).
Maksud dari pertanyaan di ayat 25 adalah untuk menunjukkan bahwa pemberian korban belum dilakukan secara reguler dan menyeluruh oleh bangsa Israel selama perjalanan di padang gurun. Kondisi di padang gurun dan pimpinan tiang awan – tiang api yang tidak menentu membuat mereka belum bisa leluasa berternak maupun bercocok-tanam sehingga jenis dan jumlah korban yang dipersembahkan belum bisa ideal. Tidak semua jenis dan aturan korban yang diperintahkan sudah bisa dilakukan selama di padang gurun. Ada banyak keterbatasan.
Apakah semua ini mengurangi kualitas relasi mereka dengan Allah? Sama sekali tidak! Pemberian korban dan perayaan memang penting, tetapi bukan esensi dari ibadah. Ada yang lebih penting daripada semuanya ini, yaitu dedikasi yang total kepada TUHAN. Selebrasi atas sebuah relasi tidak akan berarti tanpa dedikasi sepenuh hati. Kesetiaan lebih penting daripada perayaan dan pemberian. Alkitab berkali-kali menandaskan bahwa menaati firman TUHAN jauh lebih penting daripada korban bakaran (1Sam. 15:22; Hos. 6:6).
Kedua, pelanggaran terhadap esensi ibadah (ayat 26). Kesalahan yang dilakukan oleh bangsa Israel pada zaman Amos bukan hanya tidak memahami esensi ibadah. Mereka juga melakukan tindakan yang bertentangan dengan esensi tersebut, yaitu menyembah ilah-ilah lain.
Ayat 26a telah diterjemahkan secara beragam di berbagai versi, bergantung pada jenis vokal yang dilekatkan pada kata skt (KJV/NIV “kemah” atau RSV/NASB/LAI:TB “Sakut”) dan mlk (mayoritas versi “raja” atau KJV “Molokh”). Berdasarkan pemunculan kata sikkût dan kiyyûn (LAI:TB/RSV “Kewan/Kaiwan”; KJV/NASB “Kiyyun/Chiun”) di teks kuno Mesopotamia kita sebaiknya memahami ayat 26 sebagai rujukan pada dewa-dewa Kanaan yang disembah oleh bangsa Israel. Jika ini diterima, semua terjemahan “Sakut, rajamu” (LAI:TB/RSV/NASB/ESV) harus dipahami sebagai rujukan pada dewa, bukan pemimpin politis.
Penyembahan berhala jelas merupakan kesalahan yang sangat fatal. Bangsa Israel telah menduakan TUHAN yang seharusnya berhak mendapatkan dedikasi dan loyalitas yang total dari mereka. Tindakan ini menyakitkan hati TUHAN (1Raj. 14:9 “Sebab engkau telah melakukan perbuatan jahat lebih dari semua orang yang mendahului engkau dan telah membuat bagimu allah lain dan patung-patung tuangan, sehingga engkau menimbulkan sakit hati-Ku, bahkan engkau telah membelakangi Aku”).
Ibadah kepada ilah-ilah lain bukan hanya tindakan yang melanggar esensi ibadah, tetapi juga melanggar logika. Bagaimana mungkin manusia menyembah patung dewa-dewa yang mereka ciptakan bagi diri mereka sendiri (Am. 5:26)? Bagaimana mungkin mereka menyembah patung-patung yang bahkan tidak mampu berjalan dan perlu untuk diangkat atau dibawa oleh mereka sendiri (Am. 5:26)? Kebodohan spiritual dari para penyembah berhala seperti ini diungkapkan secara tegas oleh Paulus: “Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh” (Rm. 1:21b-22).
Bukankah ini yang seringkali terjadi pada diri kita sendiri? Kita menggantikan keberhargaan Kristus dengan hal-hal lain yang bersifat lahiriah dan sementara. Kita menganggap persandaran total kepada Kristus sebagai kebodohan. Kita merasa Kristus tidaklah cukup bagi kita. Kita memilih berhala-berhala yang sudah pasti akan mengecewakan kita.
Konsekuensi dari kesalahan fatal (ayat 27)
Bangsa Israel sudah mendapatkan peringatan dan kecaman berkali-kali dari TUHAN melalui Amos (pasal 1-4). Bukannya bertobat, mereka justru mencari rasa aman yang palsu dari konsep teologis mereka yang keliru (5:18-24). Jika ini yang terus-menerus terjadi, hanya hukuman yang mungkin bisa membawa mereka pada kesadaran dan pertobatan (5:27). Shock therapy rohani memang kadangkala dibutuhkan oleh mereka yang sudah mengeraskan hati.
Hukuman yang dipersiapkan oleh TUHAN berupa pembuangan. Hal ini sesuai dengan ancaman yang sudah ada dalam perjanjian: “TUHAN telah menyentakkan mereka dari tanah mereka dalam murka dan kepanasan amarah dan gusar-Nya yang hebat, lalu melemparkan mereka ke negeri lain, seperti yang terjadi sekarang ini” (Ul. 29:28). Frasa “jauh di seberang Damsyik” (Am. 5:27b) menyiratkan jarak yang sangat jauh atau rujukan pada daerah bangsa Asyur. Bangsa Israel bukan hanya akan kehilangan tanah mereka saja. Mereka juga akan dibuang ke negeri yang jauh, di negeri bangsa yang tidak mengenal belas kasihan.
Kehilangan tanah berarti kehilangan segala sesuatu. Tidak ada lagi pusat-pusat ritual yang dijadikan tempat aman yang palsu. Tidak ada lagi istana, puri, benteng dan rumah mewah yang menyediakan kenyamanan. Tidak ada lagi kekuatan militer yang dibanggakan dan diandalkan. Dengan kata lain, mereka kehilangan apa yang paling berharga di mata mereka.
Hal yang sama kadangkala TUHAN lakukan pada kita. Kekerasan hati dan kebebalan nurani dihancurkan melalui kehilangan apa yang dianggap paling berarti. Tidak memiliki apa-apa seringkali membuat orang lebih bisa menjadikan TUHAN sebagai satu-satunya dan segalanya. TUHAN menghancurkan semua perlindungan yang palsu dalam diri kita bukan untuk mencelakakan kita tetapi untuk menyadarkan kita tentang bahaya yang sesungguhnya, sehingga kita mulai mencari Dia. Soli Deo Gloria.
Photo by Fares Hamouche on Unsplash