Perjumpaan dengan seseorang tidak selalu menyenangkan, tergantung siapa yang dijumpai dan apa maksud dalam perjumpaan tersebut. Siapa saja akan merasa ketakutan jika berjumpa dengan perampok atau penjahat. Seorang murid yang nakal akan cemas jika dipanggil oleh kepala sekolah.
Hal yang sama berlaku pada perjumpaan dengan TUHAN. Dalam keadaan-keadaan tertentu perjumpaan dengan Dia jelas akan membawa sukacita. Walaupun demikian dalam keadaan yang lain perjumpaan dengan Dia menjadi momen yang mencemaskan bagi manusia. Dia kadangkala datang dengan kemarahan di hati-Nya dan hukuman di tangan-Nya. Itulah yang terjadi pada bangsa Israel di zaman Amos.
Apakah ini berarti bahwa Allah tergolong Pribadi yang suka marah-marah? Tentu saja tidak. Apakah dalam kemarahan dan hukuman itu anugerah-Nya benar-benar sirna? Sama sekali tidak!
Perintah untuk bertemu dengan Allah (ayat 12)
Berbagai ancaman hukuman untuk bangsa Israel sudah diberitakan oleh Amos (2:6-4:11). Beberapa ancaman itu bahkan sudah terjadi (4:6-11). Semua ancaman dan hukuman ini dimaksudkan supaya bangsa Israel berbalik kepada TUHAN. Sayangnya, mereka tidak peduli dengan semua peringatan tersebut. Mereka tetap berbuat dosa, sehingga dengan demikian melanggar perjanjian mereka dengan TUHAN.
Ketika perjanjian itu tidak diindahkan, TUHAN tentu saja harus mengambil tindakan. Walaupun Dia panjang sabar, tetapi kesabaran-Nya tetap ada batasnya. Hal ini bukan berarti bahwa kesabaran-Nya tidak sempurna. Bukan pula berarti ada faktor lain di luar diri-Nya yang membatasi kesabaran-Nya. Jika kesabaran Allah tanpa batas sama sekali, kesabaran itu pasti akan menabrak kekudusan dan keadilan-Nya. Sifat-Nya yang kudus dan adil menuntut setiap pendosa untuk diganjar dengan hukuman.
Kalau sebelumnya TUHAN masih membatasi hukuman yang Dia berikan, kali ini Dia akan mencabut batasan tersebut dan menumpahkan amarah-Nya pada bangsa Israel. Dia seolah-olah ingin memberitahu bangsa Israel bahwa apa yang mereka sudah saksikan dan alami belum seberapa dibandingkan dengan apa yang mereka akan hadapi di depan.
Keseriusan dalam pernyataan ini diungkapkan melalui beberapa cara. TUHAN berkata: “demikianlah akan Kulakukan kepadamu” (ayat 12a). Dia mengulangi lagi: “Aku akan melakukan yang demikian kepadamu” (ayat 12b). Pengulangan ini jelas menyiratkan sebuah penegasan. Puncak keseriusan dinyatakan melalui sebuah perintah: “bersiaplah untuk bertemu dengan Allahmu, hai Israel” (ayat 12c). Mereka yang tidak mau berbalik kepada Allah tetap akan berjumpa dengan Dia, tetapi dalam situasi yang berbeda.
Frasa “bertemu dengan Allah/TUHAN” di sini sebaiknya dipahami dalam kaitan dengan pemberian Hukum Taurat sebagai salah satu tanda perjanjian. Alkitab mencatat bahwa bangsa Israel bertemu dengan TUHAN pada awal penahbisan perjanjian di Sinai (Kel. 19:17-25), tepat sebelum Allah memberikan Sepuluh Perintah (Kel. 20:1-21). Keterkaitan antara Amos 4:12-13 dan Keluaran 19:17-20:21 bukan sekadar spekulasi. Dua bagian tersebut memang menunjukkan kemiripan. Sebagaimana bangsa Israel pada zaman Musa harus bertemu dengan Allah dengan segala kekudusan dan kedahsyatan-Nya pada waktu mereka mengikat perjanjian dengan Dia (Kel. 20:18-19), demikian pula bangsa Israel pada zaman Amos harus berjumpa dengan Allah yang sama ketika mereka mengingkari perjanjian itu (Am. 4:12-13). Sebagaimana dalam pertemuan di Gunung Sinai ada ancaman kematian bagi siapa saja yang melanggar kekudusan Allah (Kel. 19:21-24), demikian pula dengan seruan tentang pertemuan dengan Allah yang diucapkan oleh Amos (Am. 4:12).
TUHAN Allah dalam segala kedahsyatan-Nya (ayat 13)
Banyak penafsir Alkitab meyakini bahwa bagian ini merupakan sejenis himne kuno yang sudah sangat dikenal oleh bangsa Israel. Dugaan ini tampaknya tidak berlebihan. Ajakan untuk bertemu dengan TUHAN sukar dipisahkan dari konteks ibadah bersama. Lagipula, himne-himne kuno memang sering didahului dengan kata kerja imperatif (perintah). Indikasi yang paling kentara mungkin adalah kumpulan kata kerja dalam bentuk partisip di ayat ini yang memang sesuai dengan karakteristik tata bahasa dalam berbagai himne kuno. Alasan terakhir terletak pada seruan: “TUHAN, Allah semesta alam, itulah nama-Nya!”
Jika memang ayat 13 merupakan himne kuno yang sudah sangat terkenal pada waktu itu, ayat ini sebenarnya tidak memberikan wahyu baru kepada bangsa Israel. Amos hanya sekadar menegaskan ulang kepada bangsa Israel tentang TUHAN, Allah nenek moyang mereka. Bangsa Israel mungkin masih mengingat himne ini, bahkan terus-menerus menyanyikannya dalam pertemuan religius mereka. Hanya saja, mereka tidak benar-benar menghayati maknanya. Kini tiba saatnya bagi TUHAN untuk menyatakan diri-Nya yang sesungguhnya seperti yang diungkapkan dalam himne tadi. Perjumpaan pribadi dengan TUHAN selalu lebih dahsyat daripada syair pujian yang terbaik sekalipun.
Apa yang mau dicapai dengan mengutip himne kuno di ayat 13? Untuk mengetahui jawabannya kita terlebih dahulu perlu memahami inti inti himne tersebut. Dari sana kita baru bisa menebak tujuan himne di ayat 13 dalam kaitan dengan ayat 12.
Jika kita mengamati secara seksama, penekanan dalam himne ini terletak pada kuasa Allah yang begitu mulia. Perpaduan antara kekuasaan dan kemuliaan ini terlihat jelas pada bagian awal dan akhir himne ini. Pemunculan “gunung-gunung” (awal) dan “bukit-bukit” (akhir) menunjukkan benda yang sangat kokoh dan tinggi (“bukit-bukit di bumi” = lit. “tempat-tempat yang tinggi”). Tempat yang kokoh dan tinggi seperti ini adalah ciptaan Allah. Dia berjejak di atasnya.
Sebutan “Allah semesta alam” juga memberi kesan tambahan yang sangat kuat. Istilah “semesta alam” di sini sebenarnya merujuk pada para makhluk sorgawi yang sangat perkasa (NLT “God of Heaven’s Armies”’ mayoritas versi “God of hosts”). Para malaikat yang gagah perkasa saja hanyalah para tentara-Nya. Dia jauh lebih berkuasa daripada mereka semua. Dari penyebutan ini terlihat bahwa yang ditekankan adalah sifat Allah yang mahakuasa (NIV “the LORD God Almighty”).
Bagian tengah dari himne di ayat 13 masih menyiratkan kekuasaan Allah yang mulia, tetapi fokusnya sedikit bergeser. Sifat ilahi tersebut tidak dikaitkan dengan benda-benda di alam yang sangat kokoh atau para makhkluk surgawi. Kekuasaan Allah yang mulia juga dihubungkan dengan kehidupan manusia.
Ada beberapa petunjuk yang mengarah ke sana. Dalam Bahasa Ibrani kata “angin” (ruach) juga bisa merujuk pada “roh” atau “nyawa” manusia. Frasa “yang membuat fajar dan kegelapan” (lit. “membuat pagi menjadi kegelapan”) sangat mungkin merujuk pada kuasa Allah atas keseluruhan hidup manusia dari pagi sampai malam. Yang paling jelas tentu saja adalah diskripsi tentang Allah “yang memberitahukan kepada manusia apa yang dipikirkan-Nya”. TUHAN memberitahukan pikiran-Nya kepada bangsa Israel supaya mereka mengetahui bahwa apa yang sudah dan akan terjadi pada mereka bukanlah kumpulan peristiwa-peristiwa yang bersifat kebetulan. Allah mengontrol segala sesuatu dan mengarahkan semua itu untuk menggenapi rencana-Nya.
Bertitik tolak dari inti himne seperti diuraikan di atas – yaitu kuasa TUHAN yang mulia atas seluruh semesta, manusia dan makhluk surga – kita sekarang bisa melihat tujuan himne ini dengan lebih jelas. Penempatan himne ini di ayat 13 menunjukkan bahwa apa yang selama ini dilakukan oleh bangsa Israel merupakan tindakan yang bodoh. Mereka tidak mau berbalik kepada TUHAN, Allah yang menguasai segala sesuatu, termasuk kehidupan mereka. Mereka lebih percaya pada pencapaian mereka sendiri: kemakmuran ekonomi dan kekuatan militer. Mereka masih menyembah dewa-dewa asing yang tidak mampu berbuat apa-apa. Para ilah itu bukanlah Pencipta segala sesuatu.
Kekuasaan Allah yang mulia seharusnya menjadi sandaran yang aman dan nyaman bagi bangsa Israel. Tatkala mereka menolak tawaran ini, mereka tetap akan berhadapan dengan sifat-sifat Allah yang sama. Hanya saja, kali ini mereka tidak akan menemukan penghiburan dan kelegaan pada sifat-sifat itu. Sebaliknya, mereka akan mendapati kekuasaan yang mulia itu sebagai sebuah hal yang sangat mengerikan dan menakutkan.
Setiap orang pasti akan berjumpa dengan Allah untuk memberikan pertanggungjawaban. Ini hanya masalah waktu saja. Jalan menuju pertemuan dengan Dia mungkin berbeda: penderitaan sebagai hukuman, kematian atau kedatangan Kristus yang kedua di akhir zaman. Pada akhirnya semua orang akan melewati jalan yang beragam ini. Sekali lagi, ini hanyalah masalah waktu belaka. Setiap orang - tanpa terkecuali – akan berdiri di hadapan tahta pengadilan Allah. Betapa mengerikannya berada di tangan Allah yang murka!
Kengerian tersebut tergambar jelas dalam kematian Kristus bagi kita. Dia sangat menderita. Dia dipermalukan begitu rupa. Dia ditinggalkan oleh Bapa-Nya. Dia mengambil semua penderitaan tadi supaya kita tidak perlu menanggungnya lagi. Roma 5:9 “Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah”. Soli Deo Gloria.