
Sejak akhir tahun 2019 yang lalu dunia dikagetkan dengan kehadiran virus baru yang dinamakan Novel Coronavirus Covid-19. Virus yang dipercayai mulai berkembang di Wuhan Tiongkok ini dengan cepat menyebar ke berbagai tempat. Ribuan orang sudah meninggal dunia karena virus ini. Ribuan lain mendapat perawatan intensif karena terpapar dan tertular oleh virus Corona.
Dampak virus ini tidak terbatas pada bidang kesehatan. Ekonomi Tiongkok dan seluruh dunia mengalamo goncangan. Kerugian ditaksir sudah mencapai ribuan triliun rupiah. Hampir semua bidang terdampak dengan virus ini. Dunia seolah-olah sedang berguncang. Sangat wajar apabila situasi ini menimbulkan sebuah pertanyaan: “Apakah Allah memang ada? Jika ada, di manakah Dia?”
Pertanyaan ini, harus diakui, cukup sulit untuk dijawab. Kerisauan di baliknya bukan hanya bersifat intelektual tetapi emosional. Bagi mereka yang secara langsung terdampak, persoalan emosional menjadi lebih kental. Mengapa Allah membiarkan semua ini terjadi? Tidakkah Dia sanggup untuk mencegah atau menghentikannya dalam sekejap?
Hal pertama yang perlu dilakukan sebagai respons terhadap isu ini adalah menunjukkan empati yang tulus. Isu ini tidak gampang. Ribuan nyawa sudah melayang. Banyak orang mengalami goncangan besar. Sikap yang menggampangkan (oversimplifikasi) seharusnya sama sekali tidak diberi tempat. Membuat gurauan dari isu yang serius ini merupakan kebodohan yang transparan.
Walaupun demikian, kita perlu bersikap tenang agar bisa memandang keadaan ini secara benar. Marilah kita menggali pertanyaan lebih dalam. Sebenarnya apa yang kita sedang persoalkan? Apakah kematian? Mungkin tidak. Bukankah setiap orang pada akhirnya juga akan mati? Mengapa kematian (atau ketakutan terhadap kematian) akibat virus Corono perlu menjadi isu yang sangat menggemparkan? Toh akhirnya semua orang akan mati.
Apakah karena korban kematian dari virus ini yang sangat besar? Mungkin juga tidak. Jumlah korban meninggal dunia akibat influenza biasa setiap tahun sekitar 300.000 – 600.000 orang. Jika diambil angka rata-rata berarti 450.000 orang/tahun. Artinya, setiap hari ada 1.232 orang meninggal dunia karena influensa musiman yang biasa.
Jadi, apa yang sedang dipersoalkan di sini? Menurut saya, yang mengagetkan banyak orang bukan kematian, melainkan jumlah kematian yang besar dalam jangka waktu yang pendek. Poin lain adalah dampak yang luas dan cepat ke berbagai bidang kehidupan. Itulah yang menjadikan isu ini sukses menarik perhatian banyak orang.
Apakah situasi ini layak dijadikan sebagai alasan untuk menolak keberadaan Allah? Sama sekali tidak!
Pertama, dari perspektif teologi Kristen, keberadaan Allah dan penderitaan tidak bersifat eksklusif. Keduanya bisa sama-sama ada dalam dunia. Keduanya sama-sama diajarkan di dalam Alkitab.
Dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, kejahatan dan penderitaan seharusnya tidak mengagetkan. Ketika dosa masuk ke dalam dunia melalui ketidaktaatan manusia, semua jenis kerusakan dan persoalan merajalela (Kej. 3). Hal-hal buruk menjadi kewajaran. Kematian menjadi dekat dan tidak terelakkan.
Kedua, wabah global harus dipandang sebagai teriakan ilahi di telinga manusia. Kita jarang memikirkan kematian, karena itu kita jarang memikirkan kehidupan. Banyak orang hidup biasa-biasa saja. Mereka anggap rutinitas sebagai kewajaran. Wabah global merupakan ajakan Allah bagi manusia untuk merenungkan kehidupan (dan kematian). Dengan jumlah yang besar dan durasi waktu pendek, teriakan ini lebih mendapat perhatian.
Bersambung……………