Benarkah Goliat Setengah Buta Sehingga Mudah Dikalahkan?

Posted on 03/07/2022 | In QnA | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/07/Benarkah-Goliat-Setengah-Buta-Sehingga-Mudah-Dikalahkan.jpg Benarkah Goliat Setengah Buta Sehingga Mudah Dikalahkan?

Pada tahun 2013 Malcolm Gladwell, seorang penulis bestseller terkenal, menerbitkan sebuah buku yang sangat menarik. Judulnya David and Goliath: Underdogs, Misfits, and the Art of Battling Giants. Pada bagian pendahuluan buku ini (hlm. 3-18) dia mencoba melihat kisah Alkitab tentang pertarungan Goliat melawan Daud melalui perspektif yang baru. Secara tradisional kisah ini dipahami sebagai pertarungan antara Si Kuat (Goliat) dan Si Kecil (Daud). Konsep tradisional ini menurut Gladwell terbentuk karena banyak orang melihat hanya dari sisi ukuran tubuh mereka berdua. Jika dilihat dari perspektif yang berbeda, orang justru akan melihat sebaliknya. Goliat terlalu lemah bagi Daud.

Mengapa Gladwell bisa berpendapat seperti itu? Bagaimana dia menafsirkan ulang kisah Alkitab ini?

Sebelum kita menguraikan secara detail pendapat Gladwell, ada baiknya kita memahami asumsi dasar yang digunakan dalam buku ini. Gladwell meyakini bahwa sejarah ditulis oleh para pemenang. Apa yang dituliskan di sana seringkali tidak mewakili apa yang sebenarnya terjadi. Sebuah peristiwa dilihat dari sudut yang sempit dan dimodifikasi untuk meneguhkan perspektif penulis sejarah. Begitu kira-kira cara berpikir Gladwell.

Apakah setiap sejarah ditulis dengan cara yang sama? Pasti tidak! Beberapa tulisan sejarah justru ditulis oleh pihak yang kalah. Salah satu contoh terkenal adalah tulisan Josefus, seorang penulis sejarah Yahudi abad ke-1 Masehi. Dia menuliskan sejarah bangsa Yahudi dari periode awal sampai abad ke-1 (The Antiquities of the Jews). Dia juga menuliskan sejarah peperangan bangsa Yahudi melawan Romawi (Jewish Wars). Walaupun dia dianggap pengkhianat oleh bangsa Yahudi karena kedekatannya dengan penguasa Romawi, tulisan sejarahnya secara umum diakui cukup akurat. Kalaupun tulisannya dinilai bias, dia justru lebih berpihak pada bangsa Yahudi (pihak yang kalah).

Asumsi dasar Gladwell juga tidak cocok diterapkan pada tulisan historis Alkitab. Para penulis Alkitab terlihat jujur memaparkan kekalahan umat TUHAN. Berbagai aib dituliskan begitu saja tanpa pembelaan sama sekali. Sebagai contoh, penulis Alkitab bukan hanya menceritakan kehebatan-kehebatan Daud, tetapi juga kelemahan-kelemahan dan dosa-dosanya (2Sam. 11-12; Mzm. 51). Kesombongan dan kebodohan Daud juga tidak lupa diceritakan apa adanya (1Taw. 21). Beban pembuktian (burden of proof) tampaknya berada lebih di pundak mereka yang mengatakan sebaliknya.

Sekarang kita akan membahas pendapat Gladwell tentang kisah Goliat – Daud secara lebih mendetail. Berikut ini adalah beberapa poin penting dalam tulisan Gladwell.

  1. Goliat adalah prajurit infantri. Musuh yang imbang bagi dia ya seharusnya prajurit infantri dari barisan Israel. Daud bukan dari pasukan infantri, melainkan pelempar batu yang hebat. Seorang pelempar batu seringkali menjadi faktor penentu kemenangan dalam sebuah peperangan. Perbedaan divisi prajurit ini membuat pertarungan menjadi tidak adil bagi Goliat.

  2. Goliat dituntun oleh orang lain ketika menemui Daud (1Sam. 17:41). Keterangan ini menyiratkan bahwa Goliat tidak memiliki penglihatan yang baik, sehingga perlu dituntun oleh orang lain.

  3. Secara lebih spesifik, Goliat mengalami penglihatan ganda, suatu penyakit yang biasa ditemukan pada mereka yang mengalami gigantisme. Buktinya Goliat melihat Daud membawa “tongkat-tongkat,” padahal hanya satu tongkat (1Sam. 17:43).

  4. Goliat menantang Daud untuk “menghadapi dia” (1Sam. 17:44; lit. “mendatangi dia”) karena Goliat menginginkan pertarungan jarak dekat. Dia bermasalah dengan penglihatannya.

  5. Tinggi dan berat badan yang berlebihan pada Goliat serta penglihatannya yang bermasalah membuat dia sangat lamban dalam bergerak. Dia mudah menjadi target lemparan batu Daud.

Penafsiran ulang Gladwell memang sangat menarik. Cara dia memaparkan penafsiran ulang ini juga tidak kalah menariknya. Tidak heran sebagian orang langsung “tercelikkan” dengan kisah Goliat – Daud versi Gladwell.

Walaupun demikian, penafsiran ulang Gladwell menyisakan banyak persoalan eksegetis. Data yang dia ambil, baik dari sejarah, sains, maupun Alkitab, terkesan sangat selektif. Jika diletakkan kembali pada konteks Alkitab yang lebih luas, penafsiran semacam itu terlihat bertabrakan.

Pertama, jika pelempar batu seringkali menjadi penentu kemenangan sebuah peperangan, mengapa berbagai kisah peperangan justru lebih banyak menceritakan tentang prajurit pemanah? Bukankah seharusnya ada lebih banyak catatan tentang para pelempar batu? Jika pelempar batu memang sedemikian hebatnya, mengapa tidak ada prajurit bagian itu di Israel? Mengapa mereka perlu menunggu seorang gembala domba yang handal dalam melemparkan batu? Jika memang dirasa tidak adil sejak awal, bukankah bangsa Filistin bisa membatalkan pertempuran? Mengapa Goliat malah menghabiskan waktu menghina dan menantang Daud untuk maju?

Kedua, Alkitab tidak pernah memberi keterangan apapun bahwa Goliat perlu dituntun oleh seseorang untuk menghadapi Daud. Pembawa perisai di depan Goliat tidak menyiratkan apapun tentang kondisi mata Goliat. Posisi pembawa perisai dalam peperangan kuno memang sangat diperlukan. Mereka bertugas melindungi prajurit lain dalam divisi atau tingkat yang sama. Berbagai catatan perang menunjukkan bahwa seorang komandan atau jenderal bisa dilindungi oleh beberapa pembawa perisai sekaligus. Sesuai dengan tugasnya, pembawa perisai memang berjalan di depan orang atau pasukan yang mereka lindungi. Tugas mereka melindungi dari serangan panah, lembing, atau senjata lain yang dilemparkan oleh musuh. Fakta bahwa Goliat membutuhkan pembawa perisai justru menyiratkan kesiapannya untuk menghadapi pelbagai situasi tak terduga dalam pertempuran. Menafsirkan keberadaan pembawa perisai sebagai bukti bahwa orang yang dilindungi bermasalah dengan penglihatan merupakan penafsiran yang terlalu kreatif dan konyol.

Ketiga, tongkat Daud (bentuk jamak) yang dilihat oleh Goliat tidak menyiratkan persoalan penglihatan ganda pada mata Goliat. Kemungkinan besar ucapan Goliat di ayat 43 merupakan ungkapan umum untuk para gembala domba. Daud tidak berpakaian tentara. Dia memakai pakaian sehari-hari sebagai gembala. Para gembala pada jaman itu memang terbiasa menggunakan dua tongkat (Zak. 11:7; Mzm. 23:4 “gada dan tongkat”).

Jika penglihatan ganda, bagaimana Goliat bisa mengetahui bahwa Daud masih muda, kemerah-merahan dan elok parasnya (1Sam. 17:42)? Jika penglihatan Goliat sudah sedemikian parah sampai tidak mampu membedakan jumlah tongkat yang dibawa musuhnya, bagaimana dia bisa bertahan dalam pertempuran? Bagaimana pula seluruh bangsa Filistin bisa mempercayakan nasibnya pada prajurit seperti ini?

Keempat, tantangan Goliat supaya Daud maju mendekat tidak berkaitan dengan kondisi mata Goliat maupun keinginannya untuk bertempur dalam jarak sangat dekat. Kata Ibrani hālak hanya merujuk pada gerakan menuju ke suatu tempat (lit. “berjalan”). Kata ini bahkan muncul berkali-kali di 1 Samuel 17 tanpa menyiratkan pertempuran jarak dekat (17:3, 13, 14, 15, 20, 32, 33, 37, 39, 41, 44, 48). Seandainya Goliat memang menginginkan pertempuran jarak dekat sesuai yang dipikirkan oleh Gladwell, bagaimana kita menafsirkan ayat 48 “Ketika orang Filistin itu bergerak maju untuk menemui Daud, maka segeralah Daud berlari ke barisan musuh untuk menemui orang Filistin itu”? Bukankah ayat ini menunjukkan bahwa dua orang ini sama-sama mendekat? Tapi apakah itu berarti akan terjadi pertempuran dalam jarak yang sangat dekat? Tentu saja tidak! Seruan “datanglah kepadaku” adalah retorika biasa dalam peperangan, tanpa menyiratkan jenis pertempuran tertentu di dalamnya.

Dugaan bahwa Goliat bermasalah dengan penglihatannya sehingga menginginkan pertempuran jarak dekat juga tidak sesuai dengan senjata yang digunakan oleh Goliat sendiri. Jika dia bermasalah dengan penglihatan, senjata yang paling cocok untuk dia adalah pedang. Ternyata faktanya tidak demikian. Pedangnya tetap berada di sarungnya (1Sam. 17:51). Goliat terlihat lebih mengandalkan lembing dan tombaknya (1Sam. 17:6-7). Bukankah untuk melemparkan lembing dan tombak dengan tepat seseorang harus memiliki penglihatan yang baik? Sangat aneh jika seorang prajurit yang memiliki kendala di matanya justru memilih untuk menggunakan lembing dan tombak.

Kelima, menganggap Goliat sebagai prajurit yang besar dan lamban sehingga mudah dijadikan sasaran serangan musuh jelas merendahkan kemampuannya. Besar tidak selalu identik dengan kelambanan. Para pemain basket NBA bertubuh tinggi dan besar, tetapi mereka jauh lebih cepat daripada kebanyakan orang. Kecepatan adalah hasil latihan dan ketangkasan. Sebagai seorang prajurit yang terlatih dan diandalkan oleh bangsa Filistin, Goliat tidak mungkin bergerak lamban. Jika dia memang lamban, mengapa seluruh bangsa Filistin mempercayakan nasibnya pada prajurit yang lamban? Mengapa dia mendapat julukan “pendekar” (benayim, 17:4, 23)?

Sebagai konklusi, penafsiran ulang Gladwell tentang pertempuran Goliat melawan Daud tidak sesuai dengan kebiasaan perang kuno (dari sisi historis) maupun catatan Alkitab (dari sisi eksegetis). Asumsi dasarnya bahwa sejarah ditulis oleh para pemenang juga problematis. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community