
Strategi penginjilan memegang peranan besar. Cara yang tidak tepat dalam memberitakan Injil berpotensi menghambat penerimaan orang lain terhadap Injil. Injil perlu disampaikan secara sensitif (terhadap kultur pendengar) supaya beritanya menjadi lebih persuasif (bagi pendengar).
Walaupun demikian, yang terpenting bukan strategi, melainkan substansi. Strategi melayani substansi. Tidak ada kompromi dalam kaitan dengan substansi.
Di sinilah letak persoalan yang seringkali terjadi dalam penginjilan. Banyak orang salah memahami “substansi” Injil. Di satu sisi, sebagian orang menyamakan budaya Barat dengan ajaran Alkitab. Tradisi kekristenan tertentu yang kultural dijadikan praktek universal. Tidak ada ruang bagi kearifan lokal. Di sisi lain, sebagian orang mengosongkan substansi Injil karena dipandang ofensif pada telinga pendengar. Istilah “Injil” didefinisikan ulang supaya diterima oleh pendengar dengan lebih gampang. Keunikan Injil disamarkan demi mengakomodasi semua kearifan lokal.
Persoalan di atas terjadi hampir di sepanjang sejarah gereja. Secara khusus, persoalan ini menjadi lebih menantang pada jaman pascamodern. Kebenaran yang mutlak dipertanyakan. Semua klaim kebenaran dianggap sama-sama benar, walaupun saling bertabrakan. Keyakinan terhadap Yesus sebagai satu-satunya jalan keselamatan dianggap sebagai kesombongan. Penginjilan dinilai sebagai usaha yang tidak relevan. Penginjilan bahkan seringkali dipandang sebagai salah satu bentuk penjajahan. Batasan antara strategi dan substansi menjadi tidak transparan.
Seandainya Rasul Paulus hidup pada jaman sekarang, apakah dia akan tetap melakukan penginjilan? Apakah dia akan tetap memberitakan finalitas Kristus dalam keselamatan? Apakah dia akan tetap menghadirkan kekristenan sebagai sebuah keyakinan yang berbeda dari yang lainnya?
Pertanyaan-pertanyaan ini menarik untuk diajukan. Situasi pada abad ke-1 Masehi di kekaisaran Romawi tidak jauh berbeda dengan situasi yang kita hadapi sekarang ini. Kemajemukan pandangan ada di mana-mana, baik keragaman teologis maupun filosofis. Keterbukaan terhadap segala macam pemikiran sudah menjadi hal yang biasa, terutama di Atena. Mereka yang terlalu fanatik dengan suatu keyakinan religius (terutama para penyembah berhala) dipandang sebelah mata, seolah-olah mereka kurang menggunakan logika.
Teks hari ini memberikan jawaban yang jelas bagi deretan pertanyaan di atas. Di tengah kemajemukan pandangan, Paulus tetap memberitakan Kristus sebagai satu-satunya harapan. Paulus tidak takut untuk berbeda. Dia tetap memberitakan Injil Yesus Kristus.
Keberanian Paulus untuk menyampaikan berita Injil secara tegas mengajarkan kepada kita bahwa perbedaan memang bukan untuk dibesar-besarkan dan disorot tajam, tetapi juga tidak boleh disangkal maupun disembunyikan. Paulus memang sejak awal berusaha membangun kebersamaan dengan pendengar melalui apresiasi (menghargai semangat religius penduduk Atena) maupun konfirmasi (meneguhkan beberapa pandangan mereka yang memang benar secara fakta maupun logika). Bagaimanapun, Paulus juga tidak lupa untuk menyampaikan koreksi secara halus. Dia menunjukkan bahwa konsep penyembahan berhala tidak sesuai dengan hakikat Allah maupun logika manusia. Di bagian akhir khotbahnya Paulus mengumandangkan berita Injil secara jelas. Dia tidak berusaha mencampuradukkan semua keyakinan. Dia tidak berusaha merangkul semua perbedaan.
Keberanian Paulus juga mengajarkan kepada kita bahwa slogan populer “Semua agama adalah sama” adalah sebuah dusta (tidak sesuai fakta). Agama-agama tidak hanya berlainan, tetapi juga bertentangan satu sama lain, bahkan dalam hal-hal yang paling esensial. Orang yang mengatakan “semua agama sama” mungkin belum sungguh-sungguh mempelajari semuanya.
Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa seorang pemberita Injil setia pada substansi Injil? Ada tiga poin penting.
Pertama adalah berita pertobatan (ayat 30). Allah sebenarnya sudah menyediakan beragam petunjuk alamiah bagi manusia untuk menemukan Dia (17:26-27). Keberadaan dan kebaikan-Nya tampak pada pikiran manusia melalui keteraturan ciptaan (lihat Mzm. 19:-2; Rm. 1:19-20). Dalam pengertian tertentu Allah begitu dekat dengan manusia. Di dalam Dia kita hidup, bergerak, dan ada (17:28). Jika demikian, mengapa banyak manusia gagal menemukan Dia?
Jawabannya adalah “kebodohan” (LAI:TB, agnoia). Kata ini sebenarnya secara hurufiah mengandung makna “ketidaktahuan” (hampir semua versi Inggris menggunakan “ignorance,” lihat 3:17). Ketidaktahuan ini bukan hanya secara intelektual, tetapi juga terutama spiritual. Di tempat lain Paulus menerangkan karakteristik orang-orang yang tidak mengenal Allah sebagai berikut: “dengan pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka” (Ef. 4:17-18). Jadi, ketidaktahuan di sini bukan sekadar persoalan akal budi, tetapi hati.
Jika persoalan manusia hanyalah ketidaktahuan secara intelektual, solusi yang dibutuhkan hanya belajar. Kebodohan intelektual juga bisa diatasi dengan latihan penalaran. Menambah wawasan tentang fakta dan mengasah logika adalah jalan keluarnya.
Jika persoalan manusia adalah ketidaktahuan secara spiritual, solusinya hanya pertobatan. Allah sudah cukup bersabar pada manusia yang berdosa. Selama ini Allah “tidak memandang” kebebalan rohani manusia (mayoritas versi “overlooked”; KJV “winked”). Kesabaran ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada manusia untuk bertobat (Rm. 2:4).
Untuk menyadarkan manusia, Allah memberitakan kepada semua manusia di segala tempat bahwa mereka harus bertobat. Dalam teks Yunani kata kerja yang digunakan bukan hanya berarti “memberitakan” (kontra LAI:TB dan NASB), tetapi “memerintahkan” (mayoritas versi Inggris). Ada nuansa yang lebih kuat di dalamnya. Berita pertobatan bukan sekadar sebuah himbauan atau ajakan, tetapi desakan.
Kedua adalah berita penghakiman (ayat 31a). Berita pertobatan menyiratkan kekeliruan dan teguran kepada manusia yang berdosa. Mereka sedang menuju ke arah yang tidak seharusnya. Jika mereka tidak mau mengalami perubahan pemikiran (metanoeō), penghukuman Allah akan dijalankan.
Penghakiman Allah di sini diberi keterangan “dengan adil” (LAI:TB). Secara hurufiah frasa en dikaiosynē seharusnya diterjemahkan “di dalam kebenaran” (KJV/RSV/NASB) atau “di dalam keadilan” (NIV/NLT). Keterangan semacam ini membedakan konsep penghukuman Allah di Alkitab dengan yang ada di berbagai mitologi Yunani-Romawi kuno. Dalam tradisi-tradisi kuno ini para dewa seringkali mendatangkan malapetaka kepada manusia karena alasan-alasan yang tidak jelas, misalnya perkelahian antar dewa atau kegagalan manusia dalam memberi makan para dewa. Tidak demikian dengan Allah yang benar. Allah yang benar memberikan hukuman yang benar di dalam kebenaran. Hukuman Allah bukan semata-mata muncul dari sebuah kemarahan, tetapi pembelaan terhadap kebenaran.
Ketiga adalah berita kebangkitan (ayat 31b). Memberitakan pertobatan dan penghukuman hanyalah separuh jalan. Berita pertobatan memberikan arahan. Berita penghukuman memberikan desakan. Bagaimanapun, tanpa kebangkitan, arahan dan desakan tidak akan memimpin pada keselamatan. Puji Tuhan! Allah bukan hanya memberikan arahan (pertobatan) dan desakan (penghukuman), tetapi Dia juga memberikan jalan keluar (kebangkitan).
Kebangkitan Yesus secara tubuh merupakan kritikan terhadap pandangan populer tentang kehidupan setelah kematian yang beredar pada waktu itu. Menurut budaya Yunani-Romawi waktu itu hanya jiwa manusia yang akan terus ada. Tubuh menjadi binasa, karena memang tidak berguna. Sebagian bahkan mengajarkan bahwa tubuh dan jiwa sama-sama akan binasa. Musnah. Tidak ada sama sekali.
Kebangkitan Yesus merupakan peristiwa historis yang sangat penting bagi kekristenan. Tanpa kebangkitan tidak mungkin ada pengampunan dan keselamatan (baca 1Kor. 15:12-19). Tanpa kebangkitan percuma saja berita pertobatan dikumandangkan.
Kebangkitan Kristus merupakan sebuah bukti dari Allah (17:31b). Bukti tentang apa? Bukti tentang keadilan Allah! Allah sangat serius dengan keadilan-Nya. Bahkan untuk memuaskan kebenaran-Nya Allah merelakan Anak-Nya mati bagi orang-orang berdosa.
Kebangkitan Kristus sekaligus menjadi bukti bahwa berita penghakiman dari Allah tidak semata-mata menghasilkan ketakutan. Penginjilan bukan menebar ketakutan terhadap hukuman. Penginjilan justru menunjukkan jalan keluar dari ketakutan. Upah dosa yang begitu menakutkan, yaitu kematian, sudah dikalahkan. Maut tidak lagi membuat takut.
Walaupun Paulus dengan setia memberitakan tiga elemen utama dalam pemberitaan Injil, hasil penginjilannya tidak selalu sama. Sebagian orang mencemooh atau mengolok-olok dia (LAI:TB “mengejek,” ayat 32a). Kebangkitan orang mati, apalagi secara tubuh, merupakan konsep yang aneh di telinga mereka. Berita salib adalah kebodohan bagi mereka (bdk. 1Kor. 1:22-23).
Sebagian orang tertarik dengan berita kebangkitan (ayat 32b). Ketertarikan ini sayangnya dikaburkan dalam terjemahan LAI:TB (kontra mayoritas versi). Setelah mereka mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari Paulus, mereka akhirnya bertobat (ayat 34). Beberapa petobat ini tampaknya adalah orang-orang ternama. Dionisius disebutkan sebagai anggota majelis Areopagus. Nama Damaris, seorang perempuan, disebutkan secara khusus, walaupun menurut budaya pada waktu itu perempuan kurang dihargai. Masih ada petobat-petobat lain yang namanya tidak disebutkan secara khusus di sini.
Hasil penginjilan sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Tugas kita hanyalah memberitakan kabar baik dengan cara yang baik. Kita tidak mengompromikan substansi Injil. Jika persoalan fundamental manusia tetap sama – yaitu kejahatan, penderitaan, dan kematian – solusinya juga tetap sama. Jika pergumulan eksistensial manusia tetap sama – yaitu penerimaan, pengakuan, pengampunan, dan persekutuan – solusinya juga tetap sama. Injil Yesus Kristus tetap menjadi solusi yang sama untuk setiap masa! Soli Deo Gloria.