Belajar dari Pelayanan Paulus di Atena Bagian 1 (Kisah Para Rasul 17:14-21)

Posted on 07/08/2022 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/08/Belajar-dari-Pelayanan-Paulus-di-Atena-Bagian-1-Kisah-Para-Rasul-17-14-21.jpg Belajar dari Pelayanan Paulus di Atena Bagian 1 (Kisah Para Rasul 17:14-21)

Alkitab tidak menyediakan metode tertentu yang baku dalam memberitakan Injil. Hal ini menyiratkan bahwa keberhasilan penginjilan tidak ditentukan oleh suatu metode. Jika metode begitu menentukan, Alkitab sangat mungkin akan mengajarkannya secara lebih jelas.

Ketidakadaan metode yang baku bukan berarti metode-metode penginjilan yang selama ini beredar sama sekali tidak penting dalam penginjilan. Belajar beragam metode tetap bermanfaat, sejauh diterapkan secara tepat. Metode penginjilan itu ibarat sebuah tempat untuk menyimpang alat pertukangan (tools box). Kita menggunakan alat tertentu sesuai kebutuhan tertentu. Tidak ada satu alat untuk semua keperluan.

Yang paling penting adalah di sini adalah kepekaan terhadap pimpinan Roh Kudus dalam situasi tertentu. Kadang Allah bekerja melalui metode tertentu untuk orang tertentu, tapi Dia kadangkala juga bekerja tanpa metode sama sekali. Metode penginjilan hanyalah alat, bukan jimat.

Dalam Bulan Misi Agustus 2022 ini kita akan mengupas secara berseri cara Paulus memberitakan Injil di Atena. Apa yang akan diuraikan bukanlah sebuah metode, apalagi yang baku. Paulus menggunakan pendekatan yang berbeda di situasi yang berbeda kepada orang yang berbeda. Yang tetap sama adalah berita dan hatinya.

Teks hari ini menceritakan tentang kedatangan Paulus ke Atena dan apa yang dia alami serta lakukan sebelum dia diberi kesempatan untuk memberitakan Injil di Areopagus. Paulus tidak menyia-nyiakan waktu selama menunggu kedatangan Silas dan Timotius. Walaupun dia sangat memerlukan rekan pelayanan, tetapi dia tetap siap bekerja sendirian.

Apa saja yang kita dapat pelajari dari pelayanan Paulus melalui teks hari ini?

Pertama, rencana misi bersifat dinamis (ayat 14-15). Kedatangan Paulus di Atena jelas di luar rencana semula. Dia terpaksa dilarikan ke sana untuk menghindari kerusuhan yang lebih besar di kota Berea akibat hasutan orang-orang Yahudi dari Tesalonika. Penganiayaan ini tentu saja bukan yang pertama dialami oleh Paulus. Sebelumnya dia sudah merasakan pertentangan di Filipi (16:16-40) dan Tesalonika (17:1-13).

Dinamis bukan berarti tanpa arah yang jelas. Dari awal Allah sudah menuntun Paulus dan rekan-rekannya untuk menjangkau propinsi Makedonia (16:6-10). Ada kejelasan dari sisi pimpinan ilahi, hanya saja hal-hal detail yang akan terjadi tetap merupakan misteri. Kejutan-kejutan yang muncul di sepanjang jalan memang tidak terelakkan, tetapi juga tidak perlu mendatangkan ketakutan. Allah telah menetapkan arah perjalanan. Allah selalu mengendalikan setiap keadaan.

Pola kerja ilahi seperti ini menghindarkan kita dari dua bahaya: tidak membuat rencana sama sekali atau mengandalkan rencana sendiri. Kita akan selalu berada dalam sebuah ketegangan antara jelas (pimpinan Tuhan) dan tidak jelas (detail pimpinan-Nya). Ketegangan ini diseimbangkan melalui persandaran yang benar kepada Tuhan.

Kedua, kepekaan terhadap keadaan memunculkan kegelisahan (17:16). Selama menunggu di Atena Paulus tidak hanya menghabiskan waktunya dengan berdoa atau berdiam diri saja. Dia berjalan-jalan menyusuri seluruh kota. Dia melakukan pengamatan (NASB “as he was observing the city full of idols”). Yang cermat melihat keadaan akan menemukan kebutuhan yang besar.

Apa yang dilihat oleh mata berpengaruh pada hati, seperti pepatah populer mengatakan: “Dari mata turun ke hati.” Hati Paulus menjadi sangat sedih (parōxyneto). Kata kerja paroxynomai mengandung makna bergejolak (KJV/YLT “his spirit was stirred in him”). Kata ini beberapa kali bahkan muncul dengan arti “menjadi marah” atau “terprovokasi” (Ul. 9:7, 18; Mzm. 106:29; Yes. 65:3). Jadi, hati Paulus terprovokasi (RSV/NASB/ESV) sehingga menimbulkan kemarahan yang kudus. Bukan marah terhadap penduduk Atena, tetapi pada keadaan rohani yang begitu memprihatinkan di kota mereka.

Perasaan inilah yang seharusnya muncul ketika orang-orang Kristen lebih peka melihat keadaan dunia. Dosa benar-benar sudah membutakan dunia. Kebebalan rohani terjadi di mana-mana. Jika kita benar-benar peduli pada apa yang sedang menguasai dunia, bagaimana bisa kita hanya berdiam diri saja dan tidak merasakan apa-apa?

Ketiga, pengamatan yang akurat melahirkan pendekatan yang tepat (17:17-21). Sebagai seorang Yahudi yang lahir di perantauan dan mengenyam pendidikan yang mendalam, Paulus sangat memahami karakteristik penduduk Atena. Mereka sangat suka mendengarkan hal-hal yang baru (17:21). Kebiasaan ini sudah beberapa kali disinggung atau disindir oleh para pemikir Yunani - Romawi kuno. Penduduk Atena memang gemar mendengar dan bertukar pikiran.

Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh Paulus. Dia bertukar pikiran di rumah ibadat (sinagoge) dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang non-Yahudi yang beribadah di sana. Dia bertukar pikiran dengan siapa saja di pasar.  Dua tempat ini, sinagoge dan pasar, merupakan lokasi yang tepat untuk berbincang-bincang. Dalam ibadah di sinagoge ada waktu untuk menanyakan pendapat orang lain atau memaparkan pendapat sendiri. Pasar merupakan tempat berkumpul dan mengobrol (semacam tempat tongkrongan banyak orang).

Yang dilakukan oleh Paulus adalah bertukar pikiran (dialegomai). Arti kata ini bisa sekadar mengatakan sesuatu (Kis. 20:7, 9), tetapi lebih sering mengandung unsur argumentasi untuk meyakinkan orang lain (Kis. 18:4; 19:8; 24:25). Hampir semua penerjemah dan penafsir Alkitab memikirkan makna yang terakhir ini pada saat mereka menyelidiki 17:17. Kata ini dianggap mengandung unsur penalaran (NASB/NIV/ESV/NLT “reasoned” atau “reasoning”) atau pemberian argumentasi (RSV “argued”), bahkan perbantahan (KJV “dispute”; bdk. Mrk. 9:34; Kis. 24:25).

Arti ini juga mendapatkan dukungan dari konteks. Para pemikir dari kalangan filsafat Stoa dan Epikuros bersoal jawab dengan dia (17:18, symballō). Mereka bahkan membawa dia untuk memberikan penjelasan dan pembelaan di depan para cendekiawan di Areopagus (17:19). Dari sini terlihat jelas bahwa mereka bukan hanya ingin mendengar, tetapi mendapatkan penjelasan maupun pembelaan terhadap apa yang didengar.

Bertukar pikiran versi Paulus tidak sama dengan relativisme pascamodern. Dia bukan sekadar memaparkan pandangan, tetapi juga berani memberikan pembenaran dan penalaran sebagai pembelaan terhadap keyakinannya. Bagi dia, kematian dan kebangkitan Yesus merupakan berita yang tidak dapat dikompromikan sama sekali (17:18b). Paulus tidak sungkan untuk berbeda pendapat. Dia tidak takut menerima beragam label negatif, misalnya seorang peleter (17:18) dengan ajaran-ajarannya yang aneh (17:20).

Paulus tidak hanya bertukar pikiran sesekali saja. Kata kerja indikatif imperfek dielegeto (17:17a) menyiratkan tindakan yang terus-menerus di masa lampau. Ayat 17b bahkan menambahkan kata keterangan waktu “setiap hari” (kata pasan hēmeran). Artinya, Paulus selalu bertukar pikiran. Tidak heran, apa yang dia lakukan mendapat perhatian dari banyak orang, termasuk dari para pemikir Stoa dan Epikuros.

Konsistensi seperti ini sangat diperlukan dalam pemberitaan Injil. Dampak yang besar seringkali muncul dari kedisiplinan yang besar. Hasil penginjilan seringkali tidak instan, bahkan membutuhkan proses sangat panjang.

Sayangnya, konsistensi justru seringkali diabaikan oleh beberapa pemberita Injil. Mereka mudah patah semangat. Mereka terlalu terfokus pada hasil, tetapi tidak mau menjalani prosesnya. Mereka mudah menyerah kepada keadaan yang susah.

Menuntaskan tugas misi memang tidak gampang. Ada banyak persoalan, sementara hanya sedikit orang yang benar-benar terbeban. Walaupun demikian, semua ini tidak boleh memadamkan api Injil dalam hati kita.

Karya penebusan Kristus bagi kita juga tidak diperoleh dengan mudah. Kristus menjadi sama dengan manusia dalam segala hal (Ibr. 2:14; 4:15). Dia bahkan menjadi hamba manusia dan mati secara terhina di kayu salib (Flp. 2:5-8). Ketika waktu penyaliban semakin mendekat, Dia mengalami kegentaran di Taman Getsemani (Mat. 26:37-38). Di atas kayu salib Dia berteriak: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat. 27:46). Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community