Bebas Dari Ketakutan Terhadap Musuh (Yesaya 41:8-10)

Posted on 03/07/2022 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/07/Bebas-Dari-Ketakutan-Terhadap-Musuh-Yesaya-41-8-10.jpg Bebas Dari Ketakutan Terhadap Musuh (Yesaya 41:8-10)

Ketakutan merupakan persoalan bagi banyak orang. Hal ini sangat masuk akal. Manusia tidak tahu apa yang akan terjadi di depan. Sekalipun tahu, manusia juga belum tentu mampu mengontrol apa yang dia ketahui. Gabungan antara ketidaktahuan dan ketidakmampuan memang seringkali memunculkan ketakutan.

Setiap orang pasti pernah mengalami ketakutan. Tugas kita bukanlah menghindari, menyangkali, atau meniadakan ketakutan. Ketakutan bukan untuk ditiadakan, karena ketakutan kadangkala diperlukan dalam beberapa keadaan. Ketakutan membuat kita melakukan persiapan yang matang. Ketakutan mendorong kita untuk bersandar kepada Tuhan. Ketakutan menjauhkan kita dari kesombongan dan bertindak sembarangan.

Walaupun demikian, ada perbedaan yang besar antara mengalami ketakutan dan dikuasai oleh ketakutan. Yang pertama adalah natural. Setiap orang pasti pernah dihinggapi oleh rasa takut. Yang kedua adalah pilihan. Kita tidak boleh tenggelam dalam ketakutan.

Teks hari ini mengajarkan kepada kita bagaimana mengalahkan rasa takut. Bangsa Yehuda sedang berada di dalam pembuangan di negara Babel. Sementara itu dunia internasional sedang bergejolak. Bangsa Persia (atau lebih tepatnya, Media-Persia) telah menjadi sebuah kekuatan baru yang semakin besar. Banyak bangsa telah dikalahkan. Babel tinggal menunggu giliran.

Bangsa Yehuda pasti memiliki banyak pertanyaan. Apakah Babel nanti berhasil mengalahkan Persia? Bagaimana dampak perang tersebut bagi keberlangsungan bangsa Yehuda sebagai pendatang di sana? Jika Babel kalah, apakah penguasa baru nanti akan memperlakukan bangsa Yehuda dengan baik? Masih banyak pertanyaan lain yang bisa dideretkan di sini. Bangsa Yehuda benar-benar berada dalam persimpangan jalan dan ketidakpastian.

Di tengah situasi ini TUHAN Allah berfirman “Janganlah takut!” (ayat 10a). TUHAN mengulang lagi dengan ungkapan yang berbeda: “Janganlah bimbang!” (ayat 10a). Untuk kalimat perintah yang terakhir ini mayoritas versi Inggris dengan tepat memilih terjemahan: “Do not be dismayed!” Kata Ibrani shāta’a memang merujuk pada kecemasan yang luar biasa akibat sesuatu yang tidak biasa, bukan sekadar kebimbangan. Kata kerja yang sama muncul di ayat 23 dengan arti “tercengang.”

Dalam taraf tertentu ketakutan dan kecemasan yang dialami oleh bangsa Yehuda memang bisa dipahami. Walaupun sudah beberapa dekade berada di Babel, mereka tetap kaum pendatang. Walaupun pemerintah Babel memperlakukan mereka dengan cukup baik, mereka tidak merasa Babel sebagai rumah mereka. Mereka berada di tengah ketidakpastian. Kini sebuah masalah baru akan muncul. Akankah keadaan mereka menjadi lebih baik atau sebaliknya? Di tengah situasi seperti inilah TUHAN menasihati mereka untuk tidak takut maupun cemas.

Bagaimana mereka bisa mengalahkan ketakutan dan kecemasan mereka? Apakah mereka harus mengubah keadaan atau membelokkan ancaman? Tidak juga! Kita mengalahkan ketakutan dan kecemasan dengan memahami siapa kita di hadapan Allah dan apa yang Allah akan perbuat bagi kita.

 

Identitas kita di hadapan Allah (ayat 8-9)

Kata sambung “tetapi” mengontraskan umat Tuhan (41:8-9) dengan bangsa-bangsa lain (41:5). Dua kelompok ini menghadapi masalah yang sama, yaitu ancaman dari militer Persia. Mereka juga sama-sama mengalami ketakutan. Yang membedakan adalah posisi mereka di hadapan Allah.

Bangsa Yehuda dipanggil dengan sebutan Israel, Yakub, dan keturunan Abraham. Pemunculan nama-nama nenek moyang ini menyiratkan kesetiaan Allah kepada perjanjian-Nya. Ketika bangsa Israel diperbudak dan dianiaya di Mesir, Alkitab mencatat: “Allah mendengar mereka mengerang, lalu Ia mengingat kepada perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak dan Yakub” (Kel. 2:24). Dengan menyebut bangsa Yehuda sebagai Israel, Yakub, dan keturunan Abraham, TUHAN ingin mengingatkan bahwa mereka adalah umat perjanjian. Walaupun mereka tidak lagi berada di tanah perjanjian, mereka bagaimanapun tetap umat perjanjian. Walaupun mereka sudah sekian lama berada di Babel, TUHAN tidak pernah melupakan perjanjian-Nya dengan mereka.

Sebutan-sebutan di atas dilengkapi dengan keterangan tertentu yang indah. Bangsa Yehuda adalah hamba TUHAN, yang dipilih oleh TUHAN, dan dikasihi oleh TUHAN. Hampir semua versi Inggris menerjemahkan “yang Kukasihi” (LAI:TB) dengan “sahabat-Ku” (KJV/RSV/NASB/NIV/ESV “my friend”). Tiga keterangan ini saling melengkapi. Menjadi hamba tidak menyiratkan sesuatu yang negatif. Tidak ada paksaan. Yang ada hanyalah pilihan yang didasarkan pada kasih. Hamba adalah sahabat, begitu pula sebaliknya.

Ayat 9 memberi penjelasan lebih jauh yang bersifat paralel. Ide tentang hamba dan pilihan muncul lagi (“engkau hamba-Ku, Aku telah memilih engkau”). Menariknya, ide tentang “sahabat” muncul dalam ungkapan yang sedikit berbeda (“tidak menolak engkau”). Ini menyiratkan komitmen Allah untuk tidak pernah membuang sahabat-Nya (KJV/RSV/ESV “not cast you off”; NLT “will not throw you away”).

Siapa saja yang pernah diambil oleh Allah tidak akan pernah terlepas dari genggaman-Nya. Apapun lokasi dan situasi tidak akan bisa membatasi. Dari berbagai penjuru dan dalam beragam keadaan, Allah sanggup untuk mengumpulkan ulang serpihan dan kepingan yang sudah hancur berantakan (ayat 9a “engkau yang telah Kuambil dari ujung-ujung bumi dan yang telah Kupanggil dari penjuru-penjurunya”).

Ayat 8-9 dapat dirangkum sebagai berikut. Identitas bangsa Yehuda adalah hamba yang dipilih berdasarkan kasih untuk menjadi sahabat. Dalam status sebagai hamba ada tugas yang harus dituntaskan. Dalam status sebagai pilihan ada kemurahan dan kepercayaan yang diberikan. Dalam status sebagai sahabat ada penerimaan tanpa syarat, terlepas dari hasil penuntasan tugas. Identitas seperti ini seharusnya membuat kita tenang. Yang terpenting adalah melakukan bagian kita sebaik-baiknya. Toh dari awal pilihan Allah tidak didasarkan pada kemampuan dan pencapaian kita.

 

Perbuatan Allah bagi kita (ayat 10)

Ayat ini memberikan alasan yang lebih eksplisit untuk tidak menjadi takut. Kita tidak takut bukan hanya karena mengetahui siapa kita di hadapan Allah, tetapi juga karena meyakini perbuatan-perbuatan Allah bagi kita. Allah tidak tinggal diam.

Allah menyertai kita (ayat 10a). Berita yang sama telah disampaikan kepada Raja Ahaz ketika dia mencemaskan serangan dari Israel dan Aram (7:14). TUHAN adalah Imanuel. Berita yang sama juga diucapkan oleh Musa kepada bangsa Israel yang mengalami ketakutan karena serangan dari bangsa Mesir (Kel. 14:13-14). Berita yang sama diucapkan oleh TUHAN kepada Yosua yang dipilih untuk menggantikan Musa memimpin bangsa Israel memasuki tanah Kanaan (Yos. 1:6-9). Berita yang sama perlu diucapkan kepada umat Tuhan sekarang. Ada banyak alasan untuk takut, tetapi hanya ada satu alasan untuk tenang: Tuhan menyertai kita.

Mengapa TUHAN menyertai kita? Yesaya 41:10b menyediakan jawabannya: “sebab Aku ini Allahmu.” Ya! Sesederhana itu. TUHAN adalah Allah bagi umat-Nya. Dia tidak akan membiarkan umat-Nya binasa.

Situasi ini berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Ketika mereka ditimpa dengan ketakutan  yang besar, mereka hanya bisa saling menghibur satu sama lain (41:6). Mereka bahkan sibuk menciptakan berhala untuk disembah dan dimintai pertolongan (41:7). Semua usaha ini akan sia-sia. Manusia pasti mengecewakan dan tidak bisa terus-menerus diandalkan. Berhala-berhala ciptaan manusia tidak mungkin mendengar, apalagi memberikan pertolongan. Tidak demikian dengan TUHAN sebagai Allah. Dia berinisiatif mencari umat-Nya. Dia menguatkan hati mereka. Dia berada bersama dengan mereka. Imanuel!

Ketika TUHAN bersama dengan umat-Nya, Dia akan melakukan tiga hal: meneguhkan, menolong, dan memegang dengan tangan kanan (ayat 10c). Dalam struktur Ibrani terdapat kata partisip ’ap (lit. “bahkan” atau “lebih lagi”) di antara tiga kata kerja ini. LAI:TB sayangnya hanya menerjemahkan satu saja. Penggunaan kata ’ap menyiratkan penegasan yang bertingkat: bukan hanya meneguhkan, tetapi bahkan  menolong; bukan hanya menolong, tetapi bahkan memegang dengan tangan kanan.

Pemunculan “tangan kanan” di sini cukup menarik. TUHAN ingin menegaskan secara spesifik tangan mana yang digunakan untuk memegang umat-Nya, yaitu tangan kanan. Dalam budaya kuno dulu, tangan kanan menyimbolkan sesuatu yang kuat. Tangan kanan menyiratkan keperkasaan. Simbol yang sama juga muncul berkali-kali dalam Alkitab. Mesias duduk di sebelah kanan TUHAN (Mzm. 110:1). Perbuatan-perbuatan Allah yang dahsyat dilakukan dengan tangan kanan-Nya (Mzm. 118:15-16).

Yesaya 41:10 tidak hanya menyebutkan tentang tangan kanan Allah. Ada tambahan keterangan yang lain, yaitu “yang membawa kemenangan” (LAI:TB). Terjemahan ini juga muncul di beberapa versi Inggris (RSV/NLT). Dalam teks Ibrani, kata şedeq secara hurufiah berarti “benar” (KJV/NASB/NIV/ESV). Terjemahan “yang membawa kemenangan” terlalu jauh menyimpang dari arti normal kata şedeq. Frasa “dengan tangan kanan-Ku yang benar” lebih menyoroti kebenaran Allah. Dia selalu bertindak benar dalam segala keadaan. Kekuatan yang Dia tunjukkan (tangan kanan) sejalan dengan kebenaran-Nya (tangan kanan yang benar).

Bukti tak terbantahkan tentang betapa dahsyatnya tangan kanan Allah adalah karya penebusan Kristus. Petrus menggambarkan kebangkitan dan kenaikan Yesus ke sorga dengan kalimat: “sesudah Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah” (Kis. 2:33). Jika Bapa sudah menunjukkan kedahsyatan tangan-Nya dalam diri Yesus ketika Dia mengalahkan ketakutan terbesar kita – yaitu kematian - Dia juga pasti sanggup memberikan kita kemenangan atas segala ketakutan yang lain. Tangan tangan-Nya merupakan jaminan bahwa kita tidak boleh dan tidak perlu tunduk pada ketakutan. Soli Deo Gloria.

 
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community