Bebas Dari Kemewahan (Ibrani 13:5-6)

Posted on 13/02/2022 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/02/Bebas-Dari-Kemewahan-Ibrani-13-5-6.jpg Bebas Dari Kemewahan (Ibrani 13:5-6)

Mengkritisi kemewahan membutuhkan keberanian yang besar. Banyak orang mungkin akan menganggap kita berlebihan. Dunia menawarkan kemewahan sebagai tanda keberhasilan. Banyak orang memang mencari dan membanggakan kemewahan. Mereka yang tidak seberapa kaya saja ikut menampilkan gaya hidup mewah supaya mendapatkan penerimaan dan pengakuan.

Situasi yang tidak jauh berbeda juga ditemukan di banyak gereja. Mimbar yang seharusnya memberitakan ajaran firman Tuhan justru dijadikan sarana propaganda untuk mengejar kekayaan dan menikmati kemewahan. Beberapa pengkhotbah terkenal bahkan secara sengaja menonjolkan gaya hidup yang mewah sebagai ukuran keberhasilan dalam pelayanan. Gereja telah menjadi sama seperti dunia.

Alkitab tidak melarang kekayaan, tetapi Alkitab secara konsisten menentang kemewahan. Kekayaan adalah tentang jumlah harta yang dimiliki oleh seseorang, sedangkan kemewahan adalah tentang bagaimana seseorang menikmati kekayaannya. Walaupun demikian, kekayaan bisa menjadi bahaya besar: di mana harta seseorang, di situ hatinya berada (Mat. 6:21).

Teks kita hari ini memberikan kritikan yang tajam terhadap kemewahan. Penulis surat Ibrani memberikan sebuah nasihat yang sama sekali tidak populer: “Cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu” (13:5b). Ajaran untuk mencukupkan diri dalam segala keadaan jelas bukan sesuatu yang baru di dalam Alkitab (lihat Flp. 4:11-12; 1Tim. 6:8).  Sayangnya, nasihat seperti ini jarang digaungkan dari mimbar-mimbar gereja. Gaya hidup mewah yang tidak pernah diajarkan oleh Alkitab justru didengungkan dengan kencang dari atas mimbar. Tidak mengherankan jika orang-orang Kristen terlibat dalam berbagai masalah keuangan karena kekeliruan dalam pemahaman dan pengelolaan finansial.

Teks hari ini menantang kita untuk melawan kemewahan. Apa yang diajarkan tentu saja bukan sejenis asketisisme yang anti terhadap harta dan segala hal lain di dunia. Pada dirinya sendiri kemiskinan tidak lebih baik daripada kekayaan.

Tujuan dari nasihat ini adalah kepedulian terhadap sesama. Para penerima surat Ibrani dari dulu menghadapi tekanan dan penganiayaan. Tidak sedikit dari mereka yang tertindas dan dipenjara (10:32-34). Sampai surat ini ditulis pun beberapa masih berada dalam hukuman dan penindasan (13:3). Orang-orang ini membutuhkan bantuan. Belum lagi orang-orang Kristen dari daerah lain yang sedang melarikan diri penganiayaan.

Penerima surat Ibrani diperintahkan untuk memberikan tumpangan (13:2). Mereka juga diminta untuk memberikan pertolongan bagi yang membutuhkan (13:16). Apa yang dulu mereka sudah lakukan (10:32-34) harus tetap dijalankan (13:2, 16).

Nasihat di atas akan sulit dilakukan jika orang-orang Kristen mengejar dan membanggakan kemewahan. Mereka tidak akan puas dengan apa yang mereka miliki. Fokus hidup mereka adalah mengumpulkan, bukan membagikan. Memberikan pertolongan kepada orang lain akan dianggap sebagai sebuah beban yang tidak menyenangkan.

Kita seharusnya menolak kemewahan supaya kita bisa memperbanyak pemberian. Ketika Allah memperbanyak jumlah berkat, yang harus meningkat bukan taraf hidup kita, melainkan pemberian kita untuk sesama. Yang semakin diberkati seharusnya semakin mudah untuk berbagi.

Bagaimana kita dapat mengalahkan godaan untuk mengejar kemewahan? Ada tiga hal yang perlu dilakukan.

Pertama, menjaga hati dari berhala (ayat 5a). Bukan kebetulan kalau perintah untuk mencukupkan diri (13:5b) dimulai dengan sebuah peringatan: “Janganlah kamu menjadi hamba uang” (13:5a). Secara hurufiah yang dimaksud adalah “bebas dari cinta terhadap uang” (aphilargyros). Penggunaan kata ini menyiratkan bahwa akar persoalan terletak pada hati. Orang mencintai uang (bdk. 1Tim. 6:10). Orang telah meletakkan hatinya pada Mamon (Mat. 6:21).

Gaya hidup mewah sebenarnya bukan tentang jumlah harta. Tidak setiap orang kaya otomatis jatuh pada kemewahan. Kemewahan adalah masalah berhala: kita mencintai harta lebih daripada segalanya atau kita menjadikan harta sebagai allah kita. Harta dijadikan sumber identitas, kebahagiaan, dan keamanan.

Berhala ini hanya dapat ditaklukkan melalui Injil. Ketika seseorang memahami bahwa Kristus adalah satu-satunya harta yang berharga, dia pasti siap melepaskan segalanya. Itulah kekuatan di balik kerelaan orang-orang Kristen untuk mengurbankan hartanya (10:34 “Memang kamu telah turut mengambil bagian dalam penderitaan orang-orang hukuman dan ketika harta kamu dirampas, kamu menerima hal itu dengan sukacita, sebab kamu tahu, bahwa kamu memiliki harta yang lebih baik dan yang lebih menetap sifatnya”).

Kedua, mencukupkan diri dalam segala keadaan (ayat 5b). Setelah membereskan hati dari berhala, tugas selanjutnya adalah berusaha mencukupkan diri dengan apa yang ada. Fakta bahwa mencukupkan diri perlu diperintahkan menunjukkan bahwa mencukupkan diri tidak terjadi secara alami. Manusia cenderung merasa kurang atau ingin yang lebih. Mencukupkan diri merupakan sebuah proses belajar (lihat Flp. 4:11-12). Tidak ada yang terjadi secara spontan atau kebetulan.

Frasa “dengan apa yang ada padamu” (ayat 5b) mengajarkan bahwa mencukupkan diri tidak ditentukan oleh situasi. Ini tentang kemauan, bukan jumlah uang. Apa yang ada pada setiap orang tidak selalu sama, tetapi setiap orang bisa sama-sama mencukupkan diri.

Dalam teks Yunani penekanan terletak pada apa yang ada sekarang (tois parousin). Kontras yang dipikirkan adalah antara sekarang dan ke depan. Ini perlu diperhatikan. Beberapa orang tidak pernah merasa  cukup karena selalu memikirkan masa depan. Mereka ingin memiliki tabungan yang aman. Mereka ingin memastikan anak-anak mereka hidup dalam kecukupan. Keinginan untuk melihat anak-anak tidak hidup dalam kekurangan seringkali membuat orang tua selalu merasa kurang. Tanpa sadar beberapa orang tua telah menjadikan diri mereka sebagai Tuhan yang menentukan masa depan anak-anak mereka.

Kebenaran di atas tentu saja tidak berarti bahwa menyiapkan masa depan adalah keliru. Orang yang bijaksana justru ditandai dengan kesiapannya menyongsong masa depan. Walaupun demikian, ada perbedaan yang tajam antara menyiapkan masa depan dengan menjadi penentu masa depan. Orang tua perlu memberi ruang yang lebih lebar kepada anak-anak untuk melatih iman mereka di masa depan. Biarlah mereka memiliki pengalaman iman sendiri dengan Tuhan.

Ketiga, mempercayai janji Tuhan (ayat 5c-6). Tidak mudah untuk mencukupkan diri dalam segala keadaan. Kekuatiran siap menghadang. Godaan ini menjadi lebih besar bagi mereka yang sedang mengalami penganiayaan atau menjalani hukuman. Jika mereka benar-benar tidak memiliki apa-apa, bagaimana mereka dapat mencukupkan diri dengan apa yang ada? Apakah mencukupkan diri juga berlaku atas “apa yang tidak ada”?

Di tengah situasi seperti ini, mereka perlu mengingat janji Tuhan. Yang dijanjikan oleh Allah adalah penyertaan. Walaupun Allah belum tentu membalikkan keadaan kita, Dia selalu menyediakan penyertaan-Nya bagi kita. Keadaan kita yang sama tidak menghalangi Allah untuk bekerja secara berbeda-beda. Karya Allah memang sering tidak terduga.

Kutipan pertama di ayat 5c berasal dari Ulangan 31:6-8 dan Yosua 1:5. Dua teks ini sama-sama berkaitan dengan penaklukan tanah Kanaan. Yosua yang saat itu masih muda mungkin digelayuti oleh kekuatiran dan ketakutan. Jika Musa yang begitu hebat saja gagal, apalagi Yosua yang masih belia? Namun, Yosua akhirnya memilih untuk taat saja. Dia menjalankan tugas dari Allah dengan bersandar pada janji-Nya. Menariknya, di akhir-akhir pelayanannya, Alkitab memberikan kesaksian: “Dari segala yang baik yang dijanjikan TUHAN kepada kaum Israel, tidak ada yang tidak dipenuhi; semuanya terpenuhi” (Yos. 21:45).

Kutipan kedua berasal dari Mazmur 118:6. Pemazmur sedang menghadapi tekanan dari musuh-musuhnya (118:7). Dalam situasi terjepit seperti ini dia meyakini: “TUHAN di pihakku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?” (118:6). Ketika berada dalam tekanan yang besar, respons alamiah seseorang biasanya adalah meminta pertolongan dari orang lain yang berkuasa. Pemazmur ternyata tidak mau mengambil jalan itu. Dengan iman, dia berkata: “Lebih baik berlindung pada TUHAN dari pada percaya kepada manusia. Lebih baik berlindung pada TUHAN dari pada percaya kepada para bangsawan” (118:8-9).

Kita seringkali baru merasa yakin atau percaya diri ketika kita memiliki sesuatu yang kita andalkan, baik kepandaian, ketrampilan, pengalaman, pertemanan, atau kekayaan. Ibrani 13:5c-6 memerintahkan kita untuk tetap yakin dan percaya diri, tetapi bukan lagi karena apa yang kita miliki, melainkan karena apa yang Tuhan sudah janjikan. Jika Allah sudah memberikan perintah kepada kita, Dia juga yang akan memampukan kita untuk melakukannya. Mencukupkan diri memang sukar, tetapi penyertaan Allah selalu menjadi jalan keluar. Soli Deo Gloria.

Photo by Jess Bailey on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community