Kadang kita mengalami kesulitan dalam memberi. Sulit bagi kita untuk memberi dengan sukacita atau cheerful heart. Sekalipun kita mungkin bukan orang yang egois atau kikir, sikap kita dalam memberi malah menunjukkan yang sebaliknya. 2 Kor.8:1-9 mengajarkan kepada kita rahasia untuk bebas dari egoisme dan kekikiran. Sedikitnya ada tiga prinsip yang akan memerdekakan kita dari sikap egoisme dan kekikiran.
- Kondisi hati bisa sangat berbeda dibandingkan dengan kondisi fisik.
Ay 2 ditulis dengan bentuk kontras yang indah. Apalagi jika kita melihatnya dalam terjemahan Young’s Literal Translation:
because in much trial of tribulation the abundance of their joy, and their deep poverty, did abound to the riches of their liberality
Terjemahan ini menunjukkan bahwa kondisi hati seseorang bisa sangat berbeda dari kondisi fisik yang ia alami. Bahwa penderitaan tidak harus menyebabkan kedukaan; dan bahwa kemiskinan tidak harus menyebabkan keterbatasan. Di dalam penderitaan, kita bisa tetap melimpah dengan sukacita; dan di dalam kemiskinan, kita bisa tetap kaya dengan kebebasan.
- Memberi diri kepada Allah adalah sumber kekuatan di dalam tekanan
Pertanyaannya, apa yang membuat jemaat Makedonia tidak terpengaruh oleh penderitaan dan kemiskinan yang mereka alami? Apa yang menjadi sumber kekuatan jemaat Makedonia? Di dalam ay 3-6, Paulus menunjukkan apa yang menjadi sumber kekuatan itu. Namun sebelumnya, kita harus memahami bahwa di dalam teks aslinya, 2 Korintus 8:1-9 ditulis di dalam satu kalimat utuh. Tanpa titik. Dengan begitu, kita harus membacanya secara utuh untuk memahami ide apa yang dikawal Paulus.
“…. because, according to [their] power, I testify, and above [their] power, they were willing of themselves, with much entreaty calling on us to receive the favour and the fellowship of the ministration to the saints, and not according as we expected, but themselves they did give first to the Lord, and to us, through the will of God, …” (“…. karena, menurut kuasa [mereka], saya bersaksi, dan di atas kuasa [mereka], mereka bersedia dengan sendirinya, dengan banyak permohonan menyerukan kepada kita untuk menerima perkenanan dan persekutuan pelayanan kepada orang-orang kudus, dan bukan menurut seperti yang kita harapkan, tetapi mereka sendiri yang memberikan pertama-tama kepada Tuhan, dan kepada kita, melalui kehendak Allah, …”)
Dari kalimat ini, kita bisa melihat bahwa tidak ada indikasi pemberian materi dari jemaat Makedonia; walau juga tidak ada indikasi tidak ada pemberian materi dari jemaat Makedonia. Yang menjadi penekanan disini adalah permohonan mereka untuk bisa terlibat di dalam pelayanan kasih bagi saudara-saudara seiman mereka; dan mereka melakukannya karena mereka telah memberikan diri pertama-tama kepada Tuhan. Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa apa yang memampukan mereka untuk memberi kepada orang lain adalah karena mereka telah memberi diri kepada Allah. Kata “memberi” berasal dari kata didwmi. (didomi). Tidak ada arti khusus dari kata ini. Dengan kata lain, kata ini hanyalah memberi; memberi begitu saja. Jika diterapkan kepada jemaat Makedonia, maka mereka memberikan diri mereka begitu saja kepada Allah, tidak ada maksud terselubung, tidak ada embel-embel. Hanya memberi diri.
- Pengorbanan Kristus adalah dasar semua ketulusan
Satu-satunya alasan yang solid bagi kita untuk memberi diri kita kepada Allah, sebagaimana ditunjukkan Paulus adalah teladan Yesus Kristus. Bahwa: “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya”. Bukannya jemaat Korintus belum terlibat dalam pelayanan kasih ini. Sebaliknya, ay 6-7 mengindikasikan bahwa mereka sudah terlibat, hanya belum menyelesaikannya. Walau begitu, dorongan ini tidak diberikan Paulus agar jemaat Korintus menyelesaikan pemberiannya, namun – sebagaimana ditunjukkan di dalam ay 8 – lebih agar jemaat Korintus memberi dengan hati yang tulus. Kata “tulus” berasal dari kata gnhsioz, (gnesios) yang artinya genuine atau sincerely true. Dengan kata lain, yang terpenting bagi Paulus, bukanlah apa yang yang diberikan namun sikap hati yang memberikannya.
Jemaat Korintus yang kaya jelas mampu memberi lebih daripada jemaat Makedonia yang miskin. Namun apakah mereka mampu memberi dengan hati yang tulus? Lalu bagaimana seseorang bisa memberi dengan hati yang tulus? Ketulusan hati di dalam memberi adalah konsekuesni logis dari dua hal ini: (1) pemahaman kita akan pengorbanan Kristus bagi kita dan (2) kesediaan kita memberikan diri seutuhnya kepada Allah. (BJL)