Bagaimana Menyikapi Akun Medsos Satire?

Posted on 29/09/2019 | In QnA | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/bagaimana-menyikapi-akun-medsos-satire.jpg Bagaimana Menyikapi Akun Medsos Satire?

Bagi mereka yang aktif dalam media sosial Instagram mungkin mengenal beberapa akun satire Kristen. Akun-akun semacam ini sering memberikan kritikan (bahkan kecaman) terhadap gereja, ajaran, atau hamba Tuhan tertentu yang mereka anggap tidak benar. Gaya yang digunakan adalah satire, yaitu penggunaan humor, sarkasme, hiperbola atau ironi untuk memberikan kritikan terhadap sebuah tatanan sosial. Pro dan kontra terus bermunculan.

Bagaimana orang-orang Kristen seharusnya menyikapi hal ini? Tidak mudah memang untuk menjawab persoalan ini. Aspek-aspek yang terkait tidak semudah yang dibayangkan.

Di satu sisi, kita bisa berdiri di pihak akun-akun ini. Memberikan kritikan pada dirinya sendiri tidaklah salah. Satir juga hanya masalah gaya sastra. Pada dirinya sendiri gaya ini netral. Bahkan dari sisi Alkitab kita menemukan bahwa Yesus Kristus juga beberapa kali memakai gaya ini (misalnya 7:1-5; 23:1-6).

Apakah memberikan kritikan di depan umum selalu salah? Belum tentu juga. Paulus pernah menegur Petrus dan Barnabas di depan publik (Gal. 2:11-14). Jika Paulus memiliki medsos, dia mungkin akan menggunakan itu sebagai salah satu sarana kritikan.

Di sisi lain, beberapa poin berikut mungkin perlu dikaji ulang oleh mereka yang menyukai akun-akun satire. Pertama, motivasi. Apakah kritikan didorong oleh kasih dan keinginan untuk melihat orang lain berubah atau sekadar upaya untuk mendiskriditkan orang lain di depan umum? Apakah tujuannya memuliakan Allah atau sekadar memantik sensasi?

Kedua, persepsi. Apakah si pengkritik merasa diri lebih baik atau sama-sama merasa berdosa? Merasa diri baik menyiratkan sebuah penghakiman. Kita perlu mengingat bahwa kita semua bersalah dalam banyak hal (Yak. 3:2).

Ketiga, variasi. Ada beragam cara untuk menyampaikan masukan atau kritikan. Satire hanyalah salah satunya. Apakah ada cara lain yang lebih baik dan efektif untuk menyampaikannya? Yesus Kristus sendiri menggunakan beragam cara untuk orang dan konteks yang berbeda. Para pemilik akun satire mungkin perlu mempertimbangkan untuk menjangkau gereja atau hamba Tuhan tertentu secara lebih personal. Bukankah Alkitab juga mengajarkan pembicaraan personal sebelum dibawa ke ranah publik (Mat. 18:15-17)? Apakah memungkinkan untuk menyoroti kesalahan ajaran tanpa mengekspos pribadi hamba Tuhan?

Keempat, akurasi. Apakah kritikan yang dilontarkan sudah sesuai kenyataan? Apakah klarifikasi sudah dilakukan? Apakah interpretasi terhadap “kenyataan” tidak bias?

Kelima, relevansi. Tidak semua budaya mampu mengapresiasi sebuah gaya sastra. Banyak faktor turut terlibat di dalamnya. Bagi yang belum (tidak) memahaminya, sebuah gaya bisa ditafsirkan secara berbeda, sehingga menjadi batu sandungan. Bukankah Alkitab mengajarkan kepada kita untuk sebisa mungkin tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain (1Kor. 8:1-13)? Bukankah hati nurani orang lain juga perlu dipertimbangkan (1Kor. 10:29-30)?

Terakhir, hasil. Apakah tujuan positif yang ingin dicapai sudah pernah dievaluasi? Benarkah cara tersebut efektif? Apakah para hamba Tuhan yang ditegur secara publik berubah? Saya tidak mengajarkan bahwa hasil membenarkan cara. Bukan itu maksud saya. Namun, jika suatu cara tidak efektif mencapai tujuan, untuk apa dipertahankan?

Sebagai penutup, saya menulis ini bukan sebagai kritikan terhadap salah satu pihak. Saya juga tidak berniat untuk memancing kontroversi atau membuat sensasi. Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk memikirkan ulang. Keputusan terakhir ada di tangan Anda. Pastikan apapun keputusan kita hanyalah untuk kemuliaan Tuhan dan kebaikan gereja-Nya. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community