Bagaimana Batasan Kontak Fisik dalam Pacaran?

Posted on 16/04/2017 | In QnA | Leave a comment

Pertanyaan ini seringkali diajukan oleh anak-anak muda. Mereka ingin tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama berpacaran, khususnya dalam hal kontak fisik. Apakah Alkitab memberi batasan yang jelas tentang hal ini?

Jika jawaban yang diharapkan harus jelas (eksplisit), Alkitab tidak menyediakan jawaban semacam itu. Topik tentang pacaran tidak pernah muncul di dalam Alkitab. Batasan untuk kontak fisik dalam berpacaran pasti tidak pernah dikupas secara eksplisit di Alkitab.

Walaupun demikian, hal ini bukan berarti bahwa Alkitab tidak memberi pedoman sama sekali. Ada petunjuk Alkitab yang memadai untuk menjawab pertanyaan di atas. Akal budi Kristiani juga bermanfaat dalam menarik batasan yang bijaksana.

Mempertanyakan pertanyaan

Pertanyaan di atas sebenarnya perlu dikritisi. Ada beberapa praduga yang salah di balik pertanyaan ini. Ada beberapa hal yang harus dijernihkan terlebih dahulu.

Yang pertama berhubungan dengan etika Kristiani. Pertanyaan “bagaimana batasan kontak fisik dalam pacaran?” bisa menimbulkan kesan yang keliru bahwa etika Kristiani lebih mengarah pada berbagai aturan (bersifat legalistik). Hal ini bertabrakan dengan prinsip Alkitab. Etika Kristiani lebih berkaitan erat dengan konsep (mengapa) daripada aturan (apa). Bukan tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, melainkan tentang mengapa sesuatu dilakukan atau tidak dilakukan.

Yang kedua berhubungan dengan motivasi di balik kontak fisik. Banyak anak muda menganggap kontak fisik sebagai bentuk ungkapan cinta atau sayang. Bagi mereka, hal ini dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dan tidak terelakkan dalam berpacaran.

Anggapan ini tentu saja tidak tepat. Ada banyak cara untuk mengungkapkan cinta. Cara-cara ini bahkan jauh lebih bermakna daripada sekadar kontak fisik. 1 Korintus 13:4-7 mengajarkan deretan karakteristik cinta yang sejati: (1) sabar; (2) murah hati; (3) tidak cemburu; (4) tidak memegahkan diri dan tidak sombong; (5) tidak melakukan yang tidak sopan; (6) tidak mencari keuntungan diri sendiri; (7) tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain; (8) tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran; (9) menutupi segala sesuatu; (10) percaya segala sesuatu; (11) mengharapkan segala sesuatu; (12) sabar menanggung segala sesuatu. Berfokus pada pengembangan sifat-sifat ini akan lebih berfaedah bagi kualitas hubungan cinta daripada kontak fisik.

Batasan kontak fisik

Tuhan Yesus mengajarkan sesuatu yang sangat penting tentang perzinahan. Dosa ini terutama berkaitan dengan hati, bukan perilaku. Yang dipentingkan adalah apa yang ada dalam hati seseorang, bukan apa yang ia lakukan. Matius 5:28 mengajarkan: “Setiap orang yang memkitang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya”. Tanpa sentuhan fisik pun seseorang dapat jatuh ke dalam perzinahan.

Teks ini sangat berguna dalam memahami batasan kontak fisik. Apa saja yang berpotensi membuat seseorang “menginginkan (secara seksual) dalam hati” harus dihindari. Ketika sepasang muda-mudi berduaan di ruangan yang sepi, bukankah situasi ini sangat rentan menggugah hawa nafsu? Bukankah pengalaman banyak orang mnunjukkan bahwa dosa seksual yang serius (persetubuhan) selalu dimulai dari sentuhan-sentuhan kecil yang semakin berkembang?

Di samping itu, Matius 5:28 juga menunjukkan betapa kuatnya dosa seksual. Dosa ini dapat muncul hanya dari penglihatan. Jika melihat saja sudah sedemikian berbahaya, apalagi menyentuh bagian tubuh orang lain. Berbagai riset mengungkapkan bahwa dorongan seksual dalam diri laki-laki seringkali bersumber dari apa yang dia pikirkan, lihat, dan sentuh. Dorongan pada perempuan lebih disebabkan oleh kata-kata maupun situasi yang romantis. Celakanya, laki-laki memang suka melihat dan meraba, sedangkan perempuan suka dibuai dengan romantisme. Dua hal ini sangat mudah dijumpai dalam gaya berpacaran anak-anak muda sekarang ini.

Teks lain yang tidak kalah penting untuk dipikirkan adalah 1 Korintus 6:12-20. Dalam teks ini Paulus menegur beberapa jemaat Korintus yang terjerumus dalam percabulan. Ada beberapa poin penting yang dapat ditarik dari uraian Paulus di sini.

1) Apa yang boleh dilakukan bukan berarti memiliki kegunaan (ayat 12a “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna”). Sebelum kita melakukan suatu tindakan, kita patut bertanya lebih dahulu: Apakah kita harus melakukan ini? Apakah tindakan ini memberi sesuatu yang baik bagi diri kita dan orang lain? Apakah tidak melakukannya justru akan membawa lebih banyak kebaikan?

2) Apa yang boleh dilakukan tidak boleh membelenggu diri sendiri (ayat 12b “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperbudak oleh suatu apapun”). Banyak orang yang menuntut kebebasan ternyata adalah orang-orang yang diperbudak oleh kebebasan itu sendiri. Ini adalah kebebasan yang semu. Orang yang benar-benar bebas berarti bebas untuk melakukan maupun tidak melakukan suatu tindakan.

3) Tuhan menganggap tubuh kita sebagai sesuatu yang penting (ayat 13 “tubuh bukan untuk percabulan, melainkan untuk Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh”). Hal ini bertabrakan dengan opini umum di kalangan orang-orang Yunani-Romawi kuno yang merendahkan nilai penting dari hal-hal yang bersifat material (termasuk tubuh). Allah menebus tubuh kita dan membangkitkannya di akhir zaman (ayat 14). Masakan kita mau menggunakan tubuh yang berharga ini untuk melakukan hal-hal yang murahan (perzinahan atau percabulan)?

4) Dosa seksual adalah dosa yang sangat serius (ayat 15-18). Ada keterikatan yang tidak kudus yang terbentuk pada saat terjadi percabulan. Kesatuan yang dihasilkan jauh lebih kuat daripada yang dipikirkan oleh banyak orang. Tidak heran Paulus berkata: “Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri” (ayat 18).

5) Tubuh kita adalah milik Allah (ayat 19-20). Roh Kudus berdiam di dalam diri kita (ayat 19). Ini menjadikan tubuh kita sebagai rumah-Nya. Dia yang menjadi tuan rumah. Lagipula, tubuh kita memang sudah ditebus secara lunas oleh Tuhan di atas kayu salib (ayat 20). Bukankah kita seyogyanya menggunakan tubuh ini sesuai dengan kehendak dan permintaan dari Sang Pemilik?

Bagi mereka yang bergumul dengan godaan seksual dalam berpacaran, beberapa pertanyaan ini patut untuk dipikirkan. Jawaban jujur dari setiap pertanyaan akan membentuk pagar pembatas yang jelas dalam berpacaran.

  • Apakah kita merasa malu apabila kontak fisik yang kita lakukan dengan pasangan diketahui oleh orang lain?
  • Apakah kontak fisik yang dilakukan membawa manfaat positif bagi kita dan pasangan?
  • Apakah tindakan kita membawa manfaat positif bagi orang lain yang melihat atau mengetahuinya?
  • Seandainya pikiran-pikiran yang muncul pada saat terjadi kontak fisik ditampilkan di sebuah layar lebar di depan banyak orang, apakah kita akan merasa malu dengan pikiran-pikiran itu?
  • Seandainya orang yang kita kasihi (adik, kakak, sahabat) diperlakukan secara sama oleh pasangannya, apakah kita merelakannya?
  • Apakah kita akan menasihati anak-anak kita kelak untuk meniru apa yang kita lakukan sekarang?
  • Seandainya hubungan asmara kita berhenti di tengah jalan, apakah kita atau pasangan akan menyesali kontak fisik yang sudah dilakukan?
  • Seandainya hubungan asmara kita berhenti di tengah jalan, apakah pasangan kita berikutnya merasa nyaman dengan kontak fisik yang sudah kita lakukan dalam pacaran sebelumnya?

Kiranya Allah berkenan memakai penjelasan ini untuk menolong anak-anak-Nya berjalan dalam kekudusan. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko