Apakah Teologi Menyebabkan Kesombongan?

Posted on 21/11/2021 | In QnA | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/12/Apakah-Teologi-Menyebabkan-Kesombongan.jpg Apakah Teologi Menyebabkan Kesombongan? Pertanyaan di atas muncul bukan tanpa alasan. Sebagian orang menjadi alergi terhadap teologi karena mereka melihat kesombongan orang-orang yang belajar teologi. Para pembelajar teologi ini menjadi orang yang suka merendahkan dan menyalahkan orang lain. Mereka sering mempersoalkan soal-sola sepele hanya untuk menunjukkan betapa banyaknya pengetahuan teologi mereka. Tidak jarang kita mendengarkan gurauan sarkatis bahwa S. Th., yang seharusnya merupakan kependekan dari Sarjana T(h)eologi, diganti dengan Sok Tahu. M. Th. (Master Teologi) diplesetkan menjadi Maha Tahu. Sebagian pembelajar teologi memang terjebak pada arogansi. Ini adalah fakta umum yang cukup memprihatinkan. Apakah pernyataan di atas berarti bahwa teologi pada dirinya sendiri memang berpotensi membawa orang pada kesombongan? Tidak juga. Teologi seharusnya tidak identik dengan arogansi. Pertama, yang menjadi masalah adalah menganggap diri memiliki pengetahuan padahal tidak demikian. Kepada jemaat Korintus yang menyombongkan pengetahuan tertentu (1Kor. 8:1b “pengetahuan yang demikian membuat orang menjadi sombong”), Paulus menunjukkan bahwa pengetahuan mereka sebenarnya tidak seberapa. Dia berkata: “Jika ada seorang menyangka, bahwa ia mempunyai sesuatu ‘pengetahuan,’ maka ia belum juga mencapai pengetahuan, sebagaimana yang harus dicapainya” (1Kor. 8:2). Jika setiap pembelajar teologi menyadari bahwa apa yang mereka ketahui belum seperti yang seharusnya, mereka akan dihindarkan dari dosa keosmbongan. Kedua, yang menjadi masalah adalah tidak mempedulikan perasaan orang lain. Paulus mengaminkan keyakinan jemaat Korintus tentang keesaan Allah (1Kor. 8:4-6), tetapi dia juga menyadari bahwa tidak semua orang memiliki pengetahuan seperti itu (1Kor. 8:7). Orang-orang ini tidak boleh diabaikan pendapat atau perasaannya hanya gara-gara pemahaman mereka yang dangkal. Jangan smapai “pengetahuan” kita justru menjadi batu sandungan dan sumber kejatuhan orang lain (1Kor. 8:8-11). Ketiga, teologi kita tidak akan menyamai pengetahuan dan hikmat Allah. Paulus adalah seorang teolog yang handal. Pemikirannya sangat luas dan dalam (bdk. Kis. 26:24). Walaupun demikian, ketika merenungkan tentang Allah, dia mengakui betapa dalamnya hikmat dan pengetahuan Allah yang tak terselidiki (Rm. 11:33-35). Teologi justru membawa pada misteri ilahi, dan pada gilirannya misteri akan membawa pada doksologi. Mereka yang menyombongkan teologi adalah mereka yang merasa sok tahu tentang Allah. Keempat, pengetahuan manusia terbatas dan akan lenyap. Tidak peduli seberapa banyak dan dalam pengetahuan seseorang, dia harus mengakui bahwa pengetahuannya terbatas. Selalu ada jurang antara apa yang dapat diketahui dengan kenyataan sesungguhnya. Suatu kelak pengetahuan akan berakhir (1Kor. 13:9-11). Pengetahuan kita akan berubah signifikan ketika kita kelak berjumpa dengan Allah (1Kor. 13:12). Terakhir, teologi memang tidak boleh berdiri sendiri tanpa kedewasaan rohani. Indikator pertumbuhan rohani bukan hanya kesatuan iman dan pengetahuan yang benar (Ef. 4:13a), tetapi juga kedewasaan dan kepenuhan dalam Kristus (Ef. 4:13b). Semua ini seharusnya tidak terpisahkan. Tanpa yang pertama, kedewasaan dan kepenuhan akan menjadi pengalaman mistis yang membahayakan. Tanpa yang terakhir, iman dan pengetahuan akan menjadi alasan kuat bagi kesombongan. Soli Deo Gloria. Photo by Kiwihug on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community