Dalam konteks kemajemukan religius di Indonesia pertanyaan ini mungkin bisa dianggap tidak bermanfaat, bahkan berpotensi membawa mudarat. Sebagian orang enggan membicarakan perbedaan (atau kesamaan) antar agama, karena termasuk dalam elemen SARA yang sensitif. Akibatnya banyak orang tidak mengerti keunikan masing-masing agama dan mengalami kebingungan untuk memberikan sikap yang benar.
Salah satu sikap populer yang berkembang adalah menganggap semua agama sama. Jalan keselamatan yang diajarkan masing-masing agama terkesan berbeda, tetapi pada akhirnya menuju pada tempat yang sama. Ungkapan terkenal yang menggambarkan situasi ini adalah “banyak jalan menuju Roma.”
Benarkah semua agama saja? Jawabannya adalah tidak. Masing-masing agama bukan hanya mengajarkan ajaran yang berlainan, tetapi juga bertentangan. Tidak mungkin semuanya benar. Berikut ini adalah komparasi ajaran masing-masing agama menurut aliran masing-masing yang dominan atau representatif.
Pertama, realitas tertinggi. Yang disebut “realitas tertinggi” di sini merujuk pada keberadaan adikodrati sebagai sumber dalam segala sesuatu. Hindu mengenal Brahman (semacam zat atau energi tidak personal yang menjadi sumber semuanya) atau Triteisme (Wisnu, Shiwa dan Krisna). Mayoritas aliran Budha merupakan agama non-teis (tidak memiliki konsep tentang apa yang biasa disebut dengan “allah”). Islam sangat menekankan Allah yang esa secara monolitik (esa dalam hakikat maupun pribadi). Kristen meyakini Allah Tritunggal (satu Allah yang menyatakan diri dalam tiga pribadi: Bapa, Anak dan Roh Kudus).
Kedua, akar persoalan manusia. Hindu memahami akar persoalan di dunia adalah samsara (siklus reinkarnasi yang seolah tidak kunjung berhenti yang didasarkan pada karma). Budha mengusulkan dukha, yaitu penderitaan dan ketidakpuasan yang luar biasa yang berasal dari keinginan. Islam dan Kristen menganggap dosa sebagai akar persoalan, tetapi pemahaman masing-masing terhadap dosa berbeda. Dalam Islam, dosa adalah ketidaktundukan pada perintah-perintah Allah. Dalam kekristenan, dosa mencakup status, natur dan tindakan berdosa. Pendeknya, dosa dipandang jauh lebih serius.
Ketiga, solusi bagi persoalan. Hindu memilih beragam yoga (karma marga, jnana marga, bhakti marga melalui yoga). Budha mengajarkan disiplin jiwa dalam bentuk Delapan Jalan Mulia. Islam menawarkan Rukun Islam. Kristen mengajarkan Anugerah Allah di dalam Kristus melalui iman kepada-Nya.
Keempat, destinasi terakhir. Semua solusi yang disediakan di atas dimaksudkan sebagai jalan untuk mencapai tempat tujuan ultimat. Hindu menyebut destinasi ini dengan “mokhsa” (kebebasan dari siklus karma dan reinkarnasi). Budha mengajarkan nirwana, yaitu suatu tempat atau keadaan di mana manusia tidak memiliki keinginan (terbebas dari keinginan apapun). Islam dan Kristen sama-sama mengajarkan tentang sorga, tetapi pemahaman mereka tentang sorga sangat berbeda.
Dari semua penjelasan di atas terlihat dengan jelas bahwa slogan “semua agama adalah sama” merupakan gagasan yang tidak masuk akal. Perbedaan yang ada sangat fundamental, sehingga tidak mungkin disatukan. Misalnya, bagi teman-teman Muslim menerima doktrin Tritunggal akan menyebabkan mereka jatuh ke dalam dosa syrik. Menurut mereka Yesus hanyalah seorang nabi, bukan Tuhan (atau Allah). Di sisi lain, keselamatan menurut Alkitab justru mencakup pengakuan bahwa Yesus adalah Tuhan (Roma 10:9-10; 1Korintus 12:1-3).
Slogan populer “banyak jalan menuju Roma” juga tidak tepat. Tidak semua agama mengajarkan destinasi yang sama. Nirwana bukan sorga. Sorga bukan moksha.
Sebagai penutup, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memperkeruh hubungan antar pemeluk agama. Tujuan tulisan ini justru sebaliknya. Penerimaan yang tulus adalah penerimaan terhadap semua perbedaan. Dengan kata lain, merengkuh perbedaan harus dimulai dengan kesadaran bahwa kita memang berbeda. Jadi, perbedaan tidak disangkali atau ditutupi, bahkan direngkuh dengan sepenuh hati. Walaupun tidak semua orang benar, tetapi semua orang berhak memegang keyakinan masing-masing. Sebagai orang Kristen yang mempercayai Alkitab secara serius, kita mengakui perbedaan iman kita dengan yang lain. Namun, perbedaan itu tidak boleh menghalangi hubungan dan kemitraan yang baik dengan semua orang. Soli Deo Gloria.