Apakah Sejarah Kelam Kekristenan Melemahkan Kebenaran Kristiani?

Posted on 18/07/2021 | In QnA | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/07/Apakah-Sejarah-Kelam-Kekristenan-Melemahkan-Kebenaran-Kristiani.jpg Apakah Sejarah Kelam Kekristenan Melemahkan Kebenaran Kristiani?

Mereka yang pernah belajar sejarah gereja dengan teliti pasti mengetahui bahwa gereja tidak selalu bertindak benar. Beberapa keputusan dan tindakan gereja bukan hanya memalukan, tetapi merugikan banyak orang. Gereja bukan hanya gagal membawa perubahan positif, tetapi gereja justru mendatangkan dampak negatif bagi masyarakat. Dosa gereja bukan hanya pasif dalam memberantas kejahatan, tetapi aktif dalam melakukan kejahatan.

Catatan kelam ini telah dipahami sebagian orang sebagai kelemahan kekristenan. Beberapa bahkan menjadikan ini sebagai senjata untuk melemahkan iman Kristen. Mereka beranggapan bahwa kekristenan tidak bisa diklaim sebagai iman yang benar karena kekristenan beberapa kali melakukan kejahatan kemanusiaan.

Bagaimana kita seharusnya menyikapi hal ini?

Hal pertama yang perlu kita utarakan adalah pengakuan dan permohonan maaf. Tindakan gereja memang benar-benar tidak bisa dimaklumi, apalagi dibenarkan. Aib akan selamanya menempel di wajah gereja. Pembelaan hanya akan menambah citra negatif gereja. Kita akan dicap tidak sensitif terhadap perasaan orang. Kita dipandang lebih memedulikan “kebenaran” (secara intelektual) daripada simpati kepada korban.

Pengakuan dan permintaan maaf ini pernah dilakukan oleh pengurus suatu yayasan Kristen di Turki. Sebagaimana kita ketahui, salah satu sejarah kelam antara Kristen dan Islam adalah Perang Salib di abad pertengahan. Penduduk Turki yang hampir semuanya beragama Islam pasti mewarisi kepahitan tersebut. Orang-orang Kristen di Turki tentu saja bisa memberikan segudang pembelaan sehubungan dengan Perang Salib. Persoalannya, bukan itu yang dibutuhkan oleh Muslim di sana. Sebagian besar dari mereka juga pasti menyikapi pembelaan itu secara negatif. Ternyata pengakuan dan permintaan maaf secara publik di atas justru mendapatkan sambutan positif yang tidak terduga. Pintu dialog menjadi lebih terbuka. Ada beberapa rekonsiliasi di antara Kristen – Muslim di sana.

Hal kedua yang perlu kita lakukan adalah memberikan klarifikasi. Menyalahkan kekristenan gara-gara gereja pernah melakukan kesalahan merupakan sebuah kekeliruan logika. Dalam sanggahan ini terdapat pergeseran kategori yang tidak disadari. Istilah “kekristenan” telah digunakan dalam dua kategori yang berbeda: ajaran (atau iman) dan pengikutnya (atau orangnya).

Seandainya kita memakainya secara lebih teliti kita akan dengan mudah menemukan kekeliruan ini. Perhatikan kalimat berikut ini: Ajaran Kristen adalah salah karena orang-orang Kristen pernah melakukan kesalahan. Jika ini yang dimaksud dalam sanggahan di atas, si penyanggah seharusnya memberikan pembenaran mengapa dia mengaitkan ajaran dengan orang. Dia tidak boleh asal menggabungkan keduanya. Dua hal tadi berbeda kategori. Dia harus memberikan pembenaran mengapa suatu ajaran boleh dikatakan salah hanya gara-gara pengikutnya melakukan kesalahan. Beban untuk menjelaskan ini berada di pundak dia, karena dia yang mengeluarkan pernyataan.

Jika suatu ajaran bisa dinyatakan salah hanya gara-gara pengikutnya pernah melakukan kesalahan, maka di dunia ini tidak ada ajaran yang benar. Mengapa? Karena setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Sanggahan tadi baru bisa disebut absah jika tindakan yang salah didasarkan pada ajaran yang memang salah. Jadi baik tindakan maupun ajaran sama-sama salah. Namun, persoalan tidak berhenti sampai di sini saja.

Beban pembuktian lain yang harus ditanggung si penyanggah adalah masalah representasi (perwakilan). Apakah gereja yang melakukan kesalahan-kesalahan historis tersebut memang mewakili semua gereja di dunia? Bukankah “gereja” di tempat dan abad yang berbeda juga melakukan banyak hal positif bagi kemanusiaan? Jika kesalahan tindakan menunjukkan kesalahan ajaran, lalu bagaimana dia menjelaskan tindakan-tindakan positif gereja?

Si penyanggah juga tidak menyediakan penjelasan tentang jumlah kesalahan yang layak dijadikan alasan untuk menyalahkan suatu ajaran. Gereja pernah bertindak benar dan salah. Berkali-kali. Misalnya, jika 10 aib oleh gereja membuktikan kesalahan kekristenan, bagaimana dengan 10 tindakan terpuji oleh gereja?

Hal terakhir yang perlu ditegaskan adalah perbedaan antara kebenaran dan kekuatan persuasif. Apa yang dipercayai dengan apa yang dilakukan adalah dua hal yang berbeda. Sebagai contoh, adalah tidak adil jika kita mengatakan bahwa ateisme keliru hanya gara-gara ada tokoh ateis yang melakukan kejahatan. Benar atau tidaknya ateisme, misalnya, tidak ditentukan oleh kejahatan Joseph Stalin. Kebenaran akan tetap benar sekalipun penganutnya tidak menerapkannya. `Begitu pula sebaliknya. Yang berbeda hanyalah kekuatan persuasinya.

Mari kita ambil sebuah contoh yang lebih praktis. Bayangkan kita berjumpa dengan seorang ahli gizi yang gemuk. Sekilas hal itu tampak kontradiktif. Seseorang yang sangat memahami diet seharusnya tidak mengalami obesitas. Namun, apakah fakta ini membuktikan bahwa semua pengetahuan diet ahli gizi itu keliru? Tentu saja tidak, bukan?

Jadi, sanggahan di atas sebenarnya dilakukan secara terburu-buru. Ibarat penembak, si penyanggah menggunakan AK47 secara random. Asal melukai. Masalahnya, dia tidak tahu persis apa yang dia tuju. Itulah salah satu ciri orang yang dikuasai asumsi dan tendensi. Objektivitas dan analisa kritisnya dilemahkan. Sanggahannya asal kena tetapi tidak pernah kena. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community