Bagi sebagian orang istilah “BDSM” mungkin terdengar masih asing. Bagi yang menggeluti isu-isu seputar seksualitas pasti sudah mengerti apa yang dimaksudkan. BDSM merupakan singkatan dari Bondage (belenggu), Discipline (disiplin dalam arti pukulan), Sadism (tindakan sadis), and Masochism (penyiksaan diri). Istilah ini merujuk pada salah satu cara berhubungan seksual yang menjadikan seseorang sebagai pihak yang dominan, sedangkan yang lain sebagai pihak yang submisif. Beberapa alat tertentu digunakan untuk menambah efek dramatisasi, misalnya borgol, kain penutup mata, kain pengikat tangan atau kaki, cambuk, dan sebagainya. Sekilas apa yang dipertontonkan merupakan sebuah penyiksaan.
Praktek ini menyulut banyak kebingungan dan perdebatan. Sebagian orang menilai praktek ini merupakan bentuk kekerasan seksual, sementara yang lain membantahnya dengan alasan bahwa praktek ini dilakukan atas dasar suka sama suka dan justru memberikan kesenangan pada dua pihak. Yang lain menganggap praktek ini tidak manusiawi, sedangkan yang lain melihat ini hanya sebagai peran. Tidak ada maksud untuk merendahkan orang lain.
Bagaimana orang-orang Kristen sebaiknya menyikapi hal ini?
Isu ini sebenarnya cukup rumit. Ada banyak aspek dan konsep yang perlu dipertimbangkan. Lagipula, jangkauan dan tingkat BDSM sendiri juga berbeda-beda. Spektrumnya cukup luas. Mari kita telaah beberapa aspek atau pemikiran di baliknya satu per satu.
Hal pertama yang perlu dikaji di sini adalah imajinasi seksual. Berfantasi pada dirinya sendiri tidaklah keliru. Manusia diciptakan oleh Allah dengan kapasitas imajinasi yang begitu tinggi. Pikiran kita tidak hanya untuk memahami atau mengingat, tetapi juga memikirkan banyak hal yang abstrak. Tanpa kreativitas kognitif seperti ini sulit bagi manusia untuk mengembangkan budaya seperti sekarang.
Fantasi seksual juga tidak sepenuhnya keliru. Seks bukan hanya masalah biologis (fisik), tetapi juga psikologis (perasaan, pikiran, kehendak). Memaksimalkan masing-masing komponen untuk mendapatkan kepuasan seksual yang lebih besar pada dirinya sendiri tidak dapat disalahkan.
Walaupun demikian, kita juga patut mewaspadai pikiran. Pikiran merupakan medan pertempuran dalam menghadapi godaan seksual. Tanpa sentuhan fisik pun seseorang sudah bisa berzinah, yaitu jika dia melihat, memikirkan, lalu berzinah dalam hatinya (Mat. 5:28). Itulah sebabnya setiap orang Kristen diundang untuk menawan segala pikiran dan menaklukkan kepada Kristus (2Kor. 10:5). “Segala pikiran” termasuk pikiran kita sendiri. Segala pemikiran yang bertabrakan dengan keindahan Injil harus dilawan.
Tidak sukar untuk menunjukkan bahwa tidak semua fantasi seksual dapat dibenarkan. Sebagai contoh, tidak patut bagi seorang suami untuk membayangkan tubuh perempuan lain pada saat dia berhubungan seksual dengan isterinya. Hal yang sama berlaku sebaliknya. Jadi, berfantasi seksual adalah wajar, tetapi tidak semua fantasi seksual dapat dibenarkan.
Lalu bagaimana dengan fantasi dalam BDSM? Apakah fantasi seperti ini dibenarkan? Menurut saya BDSM tidak seharusnya dilakukan oleh orang-orang Kristen. Apa yang ditampilkan dalam praktek ini tidak ada yang baik. Ketundukan dan dominasi yang digambarkan bertabrakan dengan ajaran Alkitab tentang ketundukan isteri dan posisi laki-laki sebagai kepala (Ef. 5:22, 25). Sadisme dan penyiksaan diri juga bertabrakan dengan nasihat Paulus kepada para suami supaya mereka memelihara dan menjaga isteri mereka (Ef. 5:28-29). Apa yang dipertontonkan dalam BDSM bertentangan dengan keindahan relasi yang diajarkan oleh Alkitab. Bahkan secara umum pun tidak ada manusia yang boleh dipandang atau diperlakukan sehina itu.
Sebagian orang mungkin akan menyanggah dengan mengatakan bahwa praktek BDSM sebenarnya hanya sebuah permainan belaka. Tidak ada pelanggaran HAM maupun kekerasan seksual di sana. Sebaliknya, semua justru untuk mendatangkan kesenangan semata-mata bagi dua pihak.
Walaupun BDSM mungkin ke depan dibenarkan secara legal (bukan pelanggaran HAM maupun sebuah kekerasan seksual), saya lebih menyoroti persoalan ini secara moral. Sebagaimana kita ketahui, apa yang legal seharusnya dipengaruhi oleh apa yang bermoral, tetapi dalam kenyataannya tidak selalu begitu. Ada pemisahan antara area legal dan moral.
Dari kacamata moral, secara khusus dari perspektif kekristenan, kita diperintahkan untuk mengisi pikiran kita dengan hal-hal yang benar: “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu” (Flp. 4:8). Sulit untuk melihat bagaimana semua kebajikan ini bisa tercermin dalam praktek BDSM.
Lebih lanjut, kita juga perlu menyoroti kesenangan atau kepuasan yang dihasilkan dari fantasi dan praktek BDSM. Jika BDSM tidak mencerminkan kesan yang Kristiani sama sekali, bagaimana orang-orang Kristen bisa mendapatkan kesenangan maupun kepuasan di dalamnya? Bukankah itu justru menunjukkan ada sesuatu yang salah dengan perasaan yang muncul?
Mari kita memikirkan sebuah contoh lain. Ada seseorang yang gemar menonton film-film yang mengedepankan sadisme. Dia mendapatkan kepuasan atau kesenangan tersendiri ketika melihat penyiksaan dan kematian. Perhatikan kesamaan kasus ini dengan BDSM. Film bukan peristiwa yang riil. Semua adegan hanyalah permainan belaka. Kita bahkan mungkin bisa menambahkan bahwa tidak ada pelanggaran HAM maupun kekerasan aktual di dalam film tersebut. Dari visualisasi imajinasi penulis naskah dan sutradara ini dimunculkan kesenangan tertentu dalam diri penonton. Pertanyaannya, apakah kesenangan atau kepuasan yang dihasilkan melalui kegemaran menonton film-film seperti ini merupakan sesuatu yang normal, apalagi dibenarkan? Akal sehat tampaknya sukar memberikan jawaban afirmatif terhadap pertanyaan ini. Sebagai orang Kristen, bukankah kita harus terus-menerus mengisi pikiran kita dengan firman Tuhan dengan segala keindahannya dan bukan dengan imajani maupun fantasi liar yang tidak mencerminkan nilai-nilai Injil Kristus. Soli Deo Gloria.
Photo by Towfiqu barbhuiya on Unsplash