Secara umum orang-orang Kristen memiliki pandangan yang positif terhadap pelayanan misi ke berbagai suku di pedalaman, baik dalam bentuk pemberitaan Injil maupun aktivitas sosial). Walaupun hanya sedikit gereja yang melibatkan diri secara aktif di dalam pelayanan ini, hampir semua tampaknya memandang pelayanan misi tersebut sebagai upaya positif. Masyarakat lokal dipertobatkan melalui Injil. Kesejahteraan hidup mereka ditingkatkan. Budaya lokal mengalami transformasi radikal yang signifikan.
Respons positif di atas ternyata tidak mewakili setiap orang Kristen. Ada orang-orang tertentu yang secara konseptual menentang pelayanan misi. Salah satu alasan yang diberikan berhubungan dengan apa yang disebut sebagai kolonialisasi baru. Pelayanan misi di pedalaman dipandang sebagai bentuk lain dari imperialisme kekristenan (atau budaya Barat).
Bagaimana kita menyikapi pandangan ini? Jawaban yang detil dan tuntas terhadap isu ini jelas membutuhkan tulisan yang jauh lebih panjang dan akademis. Dalam artikel ini kita hanya akan memberikan respons secara lebih sederhana (walaupun tanpa bermaksud menyederhanakan isu yang ada).
Saya menganggap dan meyakini bahwa pelayanan misi bukan bentuk kolonialisasi baru. Tentu saja hal ini tidak berlaku untuk segala jenis pelayanan misi. Pada dasarnya pelayanan misi yang sesuai dengan Alkitab bukan dimaksudkan sebagai kolonialisasi. Namun, tidak dapat dipungkiri, beberapa pekerja misi di lapangan memang tanpa disadari telah membawa mental dan sikap imperialistik dalam pelayanan mereka. Pelayanan misi tidak dapat dikatakan sebagai kolonialisasi baru jika memenuhi beberapa poin berikut ini.
Pertama, tidak ada unsur pemaksaan maupun pembodohan terhadap penduduk lokal. Pemaksaan bisa mengambil beragam bentuk, misalnya permainan kekuasaan dan ketergantungan. Ketika penduduk lokal kehilangan kemandirian dan mulai bergantung pada para misionaris dari luar, situasi ini semakin mendekati imperialisme. Pembodohan terjadi ketika penginjilan disamakan dengan kristenisasi, yaitu upaya untuk mempengaruhi orang lain dengan iming-iming imbalan tertentu. Selama pelayanan misi dilakukan dengan azas sukarela dan didasarkan pada konsep anugerah Allah yang jelas, pelayanan misi sangat berbeda dengan kolonialisasi.
Kedua, ada pembedaan antara berita Injil dan budaya Barat. Para misionaris kadangkala membawa dan menerapkan budaya mereka pada penduduk lokal. Hal ini kadang dilakukan secara sengaja atau tidak disengaja. Mereka terperangkap pada ethnosentrisme (memandang segala sesuatu dari perspektif budaya mereka sendiri).
Bahaya ini dapat dihindari apabila kita melakukan kontekstualisasi secara tepat. Kita perlu menemukan esensi dari setiap ajaran Alkitab, lalu memberi kemasan baru yang lebih relevan dengan budaya setempat. Banyak kearifan lokal yang dapat dimaksimalkan dalam pemberitaan Injil. Banyak kelebihan lokal yang bisa dimaksimalkan.
Ketiga, tidak ada superioritas spiritual – kultural. Dalam beberapa kasus para misionaris memang cenderung memandang diri mereka sebagai penolong yang lebih baik daripada penduduk lokal. Mereka memiliki edukasi yang lebih tinggi maupun sumber daya yang lebih banyak. Mereka datang dengan mentalitas pahlawan.
Sikap seperti ini jelas tidak sesuai dengan Injil. Para misionaris bukan pahlawan, melainkan teman seperjalanan. Ada kesejajaran di sana. Sama-sama berdosa. Sama-sama membutuhkan kasih karunia. Saling membutuhkan. Salah satu ilustrasi klasik yang baik dalam penginjilan adalah tentang pengemis yang memberitahukan teman pengemis lain di mana bisa mendapatkan roti. Pekabar Injil bukan pemilik toko roti. Kita semua sama-sama pengemis yang tidak berdaya.
Sikap ini justru akan mendatangkan banyak keuntungan bagi misionaris. Kita bisa memiliki kerendahhatian untuk belajar dari penduduk lokal. Ada banyak hikmat lokal yang akan memperkaya kita juga. Ada banyak tradisi yang kaya dengan berbagai simbol dan ajaran yang baik.
Selama tiga poin di atas diperhatikan secara serius, pelayanan misi bukanlah sebuah upaya kolonialisasi. Kita hanya ingin datang untuk membawa kabar baik. Tidak ada pemaksaan, pembodohan, maupun kesombongan. Kita sama-sama peziarah iman. Kitahanya membawa Kristus kepada mereka dengan cara-cara yang lebih nyata. Soli Deo Gloria.
Photo by Larm Rmah on Unsplash