Dalam berbagai seminar yang saya adakan tentang homoseksualitas pertanyaan ini kerap kali ditanyakan. Para orang tua kuatir kehadiran dan keterlibatan aktif LGBTQ dalam gereja akan membawa dampak buruk bagi anak-anak, terutama para remaja. Situasi ini juga mungkin akan ditafsirkan sebagai persetujuan gereja terhadap homoseksualitas.
Pernah suatu kali anggota LSM pendukung LGBTQ menghadiri seminar saya dan mempersoalkan hal ini. Mereka menjadikan larangan untuk melayani bagi LGBTQ sebagai bukti bahwa gereja-gereja kurang mengasihi sesama manusia. Jadi, benarkah LGBTQ tidak boleh melayani? Seandainya dilarang, benarkah hal itu menunjukkan gereja-gereja kurang mengasihi mereka?
Mereka yang melarang LGBTQ untuk melayani di gereja mungkin memiliki persepsi tertentu tentang kelompok ini. Tindakan LGBTQ bukan hanya dianggap sebagai suatu kesalahan, tetapi juga dosa yang sangat menjijikkan. Begitu seriusnya dosa ini sehingga sebuah disiplin gereja perlu diterapkan.
Jika dicermati lebih mendalam, larangan semacam ini perlu dipikirkan ulang. Dalam daftar dosa yang disebutkan oleh Paulus di 1Korintus 6:9-10 maupun 1 Timotius 1:9-10 dia menyandingkan homoseksualitas dengan dosa-dosa lain yang terlihat “lebih biasa,” misalnya keserakahan atau penyembahan berhala. Homoseksualitas adalah salah satu di antara dosa seksual lainnya atau di antara dosa-dosa non-seksual lainnya. Tidak ada alasan untuk memandang LGBTQ sebagai pendosa yang lebih menjijikkan daripada pendosa yang lain. Kita semua telah berbuat dosa (Rm. 3:23). Kita semua bersalah dalam banyak hal (Yak. 3:2).
Dalam hal ini yang paling penting bukanlah jenis dosa, tetapi respons seseorang terhadap dosa. Seandainya dosa seseorang bukan homoseksualitas, tetapi dia bersikukuh dengan dosa itu dan tetap melakukannya, bimbingan pastoral yang intensional perlu diberikan. Jika tetap diabaikan, sebuah disiplin rohani mungkin perlu diterapkan (Mat. 18:15-20; 1Kor. 5:1-13). Jadi, yang disoroti lebih ke arah respons terhadap dosa, bukan jenis dosanya.
Dengan pemahaman seperti ini, menerapkan larangan kepada semua LGBTQ tentu saja tidak bijaksana. Tidak semua LGBTQ harus menerima perlakuan yang sama. Ada LGBTQ yang mengakui homoseksualitas sebagai sebuah dosa dan mereka berusaha untuk tidak membuahi orientasi seksual mereka. Mereka sungguh-sungguh bergumul dengan dosa ini. Ada pula LGBTQ yang memang tidak merasa bersalah. Sebagian bahkan secara aktif mempropagandakan gaya hidup seperti ini, bahkan di dalam gereja.
Dengan demikian penanganan untuk kasus LGBTQ di gereja sebaiknya kasus per kasus. Kondisi tiap orang mungkin berlainan. Yang lebih penting lagi, tugas utama gereja adalah menciptakan sebuah kultur yang otentik dan tidak menghakimi; suatu komunitas yang siap untuk saling membuka diri dan kekurangan masing-masing serta bersedia bertumbuh bersama sebagai sebuah komunitas. Soli Deo Gloria.
Photo by Gabriel Gurrola on Unsplash