Apakah Kita Harus Menari-nari Seperti Daud (2 Samuel 6:12-23)

Posted on 04/07/2021 | In QnA | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/07/Apakah-Kita-Harus-Menari-nari-Seperti-Daud-2-Samuel-6-12-23.jpg Apakah Kita Harus Menari-nari Seperti Daud (2 Samuel 6:12-23)

Di beberapa aliran Kristen tertentu bersukacita dalam ibadah mendapat perhatian dan penekanan yang khusus. Semua jemaat didorong untuk bersukacita pada waktu memuji Tuhan. Secara lebih spesifik, jemaat diajak untuk menari-nari selama puji-pujian.

Salah satu alasan di balik ajakan untuk menari tersebut berasal dari kisah di 2 Samuel 6:12-23. Daud melompat dan menari-nari begitu rupa ketika membawa tabut TUHAN. Dia sangat bersukacita dan ekspresif ketika memuji TUHAN sampai-sampai dia dikritik oleh Mikhal, salah satu istrinya. Kecaman dari Mikhal tidak tanggung-tanggung. Dia berkata: “Betapa raja orang Israel, yang menelanjangi dirinya pada hari ini di depan mata budak-budak perempuan para hambanya, merasa dirinya terhormat pada hari ini, seperti orang hina dengan tidak malu-malu menelanjangi dirinya!” (ayat 20).

Berdasarkan kisah di atas tidak sedikit pemimpin pujian di gereja-gereja tertentu mengajak, mendorong, bahkan memaksa jemaat untuk meniru apa yang dilakukan oleh Daud. Jemaat tidak perlu malu-malu. Daud saja tidak malu. Begitu kira-kira motivasi yang diberikan oleh para pemimpin pujian tersebut.

Apakah kita memang harus menari-nari seperti Daud? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana dan jelas: TIDAK. Teks di atas tidak boleh dijadikan alasan untuk mendorong semua orang menari dalam ibadah.

Pertama, jika tarian Daud bersifat normatif, mengapa hal-hal lain yang dilakukannya tidak dijadikan normatif sekalian? Sebagai contoh, Daud juga melepaskan baju kebesarannya dan hanya mengenakan baju efod seadanya dari lenan (ayat 14). Walaupun tidak telanjang bulat, hal itu secara umum dipandang sebagai salah satu bentuk ketelanjangan yang tidak pantas di depan umum (ayat 20). Di samping itu, Daud tidak lupa mempersembahkan korban setiap kali para pengangkut tabut Allah berjalan enam langkah (ayat 13). Hal-hal detail lain adalah penggunaan sangkakala (ayat 15). Jika lompatan dan tarian Daud wajib untuk semua orang Kristen sebagai tanda sukacita, mengapa cara berpakaian, pemberian korban dan penggunaan sangkakala tidak diwajibkan sekalian? Jadi, ini masalah konsistensi dalam menafsirkan suatu teks.

Kedua, tidak semua orang melompat dan menari seperti Daud. 2 Samuel 6:12-23 hanya mencatat bahwa “Daud dan seluruh orang Israel mengangkut tabut TUHAN itu dengan diiringi sorak dan bunyi sangkakala” (ayat 15). Tidak ada keterangan bahwa bangsa Israel melakukan lompatan dan tarian. Yang jelas, para pengangkut tabut perjanjian tidak mungkin melompat dan menari sambil mengangkat tabut itu. Mikhal, istri Daud, tidak melakukannya. Jika dalam kisah asli saja tidak semua orang melompat dan menari-nari seperti Daud, mengapa tindakan Daud diwajibkan pada semua jemaat?

Ketiga, ibadah-ibadah yang dicatat dalam Alkitab tidak selalu melibatkan lompatan dan tarian. Dalam beberapa teks memang ada ajakan untuk menari di hadapan TUHAN (Mzm. 149:3; 150:4). Walaupun demikian, tarian bukanlah keharusan. Salah satu contoh yang menarik adalah pada saat tabut Allah akan dipindahkan ke bait Allah yang baru pada jaman Salomo (2Raj. 8). Ada banyak kesamaan antara 2 Raja-raja 8:1-55 dengan 2 Samuel 6:12-23. Sama-sama memindahkan tabut perjanjian. Sama-sama ada korban yang dipersembahkan. Sama-sama dilaksanakan dalam suasana perayaan yang penuh sukacita. Menariknya, Salomo tidak menari atau melompat dalam kisah ini. Dia justru banyak berdoa dan berlutut di hadapan Allah. Jika apa yang dilakukan oleh Daud pada saat dia mengangkut tabut Allah bersifat normatif, bukankah kita berharap Salomo akan melakukan yang sama?

Di samping tiga poin dari sisi Alkitab di atas, kita juga bisa menambahkan beberapa alasan praktis pastoral lain untuk menolak keharusan menari bagi semua jemaat dalam sebuah ibadah. Tidak semua orang memiliki ekspresi sukacita yang sama. Karakter orang berbeda. Pola asuh mereka juga tidak sama. Budaya yang berbeda juga membuat orang memiliki ekspresi yang berbeda. Memaksakan semua jemaat dengan ekspresi yang sama berarti kurang menghargai keunikan dan kebebasan mereka. Tindakan ini jelas tidak mencerminkan pengertian dan kasih.

Yang paling parah, tidak semua jemaat bisa melompat dan menari. Beberapa di antara mereka mungkin berusia lanjut. Yang lain mungkin memiliki penyakit tertentu. Yang lain lagi bahkan mungkin memiliki keterbatasan fisik (cacat). Jika memuji Tuhan yang benar identik dengan melompat dan menari, bukankah mereka selamanya tidak akan bisa memuji dengan benar?

Puji Tuhan! Allah memahami keunikan masing-masing kita. Dia yang menciptakan kita. Dia juga menerima setiap kita apa adanya. Sukacita bisa diungkapkan melalui apa saja. Yang terbiasa dengan tindakan yang ekspresif, silakan saja untuk menari atau melompat. Yang lebih nyaman dengan ekspresi yang biasa saja, hal itu juga bukan suatu dosa. Yang penting adalah bersukacita di hadapan TUHAN. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community