
Orang yang anti teologi selalu ada di sekitar kita. Beberapa di antara mereka menentang karena ketidaktahuan. Beberapa menentang karena kesalahpahaman. Nah, salah satunya adalah mereka yang biasanya berkata: “Saya hanya butuh Alkitab, bukan teologi!”
Bagaimana memberikan respons yang tepat terhadap pandangan ini?
Yang terutama perlu dilakukan tentu saja adalah memahami alasan di baliknya. Beberapa orang bersikap seperti itu mungkin karena pernah melihat orang lain yang getol belajar teologi tidak lagi rutin membaca Alkitab. Penggila teologi memang seringkali lebih hafal kutipan buku daripada ayat-ayat Alkitab. Jika situasi ini yang terjadi, kita bisa turut mengungkapkan keprihatinan yang sama. Belajar teologi tidak seharusnya mengabaikan pembacaan kitab suci.
Beberapa yang lain bersikap seperti itu karena memahami istilah “teologi” dengan makna tertentu yang keliru. Mereka mungkin memikirkan teologi secara akademis yang terlalu mendalam, teoritis, dan kurang bermanfaat. Jika ini yang dipikirkan oleh mereka, kita bisa memaklumi dan mengiyakan sikap mereka. Tidak semua orang Kristen perlu – apalagi harus - belajar teologi dengan kedalaman seperti itu.
Pada langkah selanjutnya kita perlu mengingatkan bahwa pemisahan antara kitab suci dan teologi adalah semu. Dikotomi semacam ini bahkan bisa bersifat kontraproduktif. Kitab suci dan teologi tidak terpisahkan.
Pertama, membaca kitab suci melibatkan interpretasi. Sebagaimana dengan semua jenis komunikasi, baik lisan maupun tulisan, pembacaan kitab suci juga membutuhkan penafsiran. Beberapa bagian Alkitab tidak selalu jelas. Ada yang bisa dimaknai secara berbeda (multitafsir), sehingga perlu dievaluasi tafsiran mana yang lebih masuk akal. Ada juga yang memang sukar untuk dipahami karena keterbatasan petunjuk dalam teks maupun keterbatasan di luar Alkitab. Bahkan untuk teks-teks yang terlihat mudah sekalipun, seseorang tetap melibatkan penafsiran. Jadi, membaca Alkitab tidak semudah yang dipikirkan oleh banyak orang. Tidak semua bagian Alkitab “langsung terang.”
Kedua, penafsiran memerlukan perspektif teologi. Tanpa disadari, semua orang membawa asumsi teologisnya pada saat membaca kitab suci. Sebagai contoh, seseorang yang mempercayai Alkitab sebagai firman Allah yang tidak mungkin salah cenderung akan mencari penjelasan yang masuk akal bagi teks-teks yang sekilas terlihat berlainan atau bertentangan. Sebaliknya, mereka yang tidak mempercayai otoritas Alkitab akan memandang teks-teks itu sebagai pembenaran bagi keyakinan teologis mereka. Bagi mereka teks-teks seperti itu tidak usah (bahkan tidak boleh) diharmonsiasikan. Alkitab memang hanyalah tulisan manusia yang mengandung banyak kesalahan.
Contoh lain adalah penafsiran model Saksi-saksi Yehuwah. Penolakan mereka terhadap Yesus Kristus sebagai Allah atau Tuhan dalam arti yang sesungguhnya (secara hakikat) mendorong mereka untuk menafsirkan teks-teks tertentu sesuai persektif teologis ini. Misalnya, mereka menerjemahkan Yohanes 1:1c “dan Firman itu adalah Allah” dengan “And the Word was a god” (NWT). Yesus dipahami sebagai sebuah allah, bukan Allah yang sesungguhnya.
Ketiga, teologi mempengaruhi hasil penafsiran Alkitab. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, penafsiran melibatkan asumsi teologis. Teologi yang salah seringkali menghasilkan penafsiran yang salah pula. Sebagai contoh, bangsa Yahudi yang mengharapkan mesias secara politis mengalami kesulitan dalam memahami nubuat-nubuat mesianis dalam Alkitab. Sebaliknya, dengan lensa kematian dan kebangkitan Kristus, orang-orang Kristen mampu melihat Kristus sebagai Mesias yang menderita. Mereka menggunakan ayat-ayat kitab suci untuk membuktikan bahwa Yesus sungguh-sungguh Mesias yang dijanjikan (Kis. 18:28).
Keempat, teologi didasarkan pada kitab suci. Dalam taraf tertentu dan cara tertentu semua orang Kristen mendasarkan teologinya pada kitab suci. Dari teolog yang profesional sampai orang Kristen awam semua membangun keyakinannya di atas kitab suci, terlepas dari ketepatan penafsirannya. Contoh yang paling sederhana adalah para penggiat teologi kemakmuran. Mereka juga sering mengutip teks-teks Alkitab tertentu yang dianggap mendukung pandangan mereka.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa orang-orang Kristen memerlukan kitab suci dan teologi. Lebih tepatnya, kita membutuhkan teologi yang benar dan cara menafsirkan Alkitab yang benar. Keduanya tidak terpisahkan dan saling menentukan. Mari belajar teologi sebaik mungkin. Mari membaca kitab suci serajin mungkin. Kiranya dalam keterbatasan kita Roh Kebenaran akan mengingatkan dan menerangi pikiran kita dengan kebenaran-Nya. Soli Deo Gloria.
Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash