Apakah Kita Boleh Menganggap Orang Lain Sesat

Posted on 12/09/2021 | In QnA | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/10/Apakah-Kita-Boleh-Menganggap-Orang-Lain-Sesat.jpg Apakah Kita Boleh Menganggap Orang Lain Sesat

Diskusi tentang ajaran doktrinal kadangkala sangat sensitif. Perbedaan pandangan dianggap sebagai hal yang sangat serius. Tidak jarang diskusi tersebut berubah menjadi perdebatan yang panas atau pertikaian yang sengit. Masalah agama memang seringkali dinilai sangat serius bagi sebagian orang.

Di tengah perdebatan dan pertikaian yang ada, perbedaan lebih sering ditonjolkan daripada kesamaan. Perbedaan kualitatif maupun kuantitatif disorot dengan tajam. Proses labelisasi untuk membedakan antar pandangan menjadi tidak terelakkan. Ada golongan benar, ada golongan sesat.

Bagaimana kita sebaiknya menyikapi isu ini? Bolehkan kita terjebak pada praktek labelisasi dan menganggap kelompok lain sesat? Jika iya, apa saja patokan untuk menentukan kesesatan?

Mereka yang menuduh orang lain sesat seringkali meyakini bahwa tindakan mereka Alkitabiah. Para tokoh Alkitab juga menilai orang lain sesat. Sebagai contoh, Yesus memandang orang-orang Saduki sesat (Mat. 22:29). Orang-orang Yahudi secara umum juga disebut sebagai “angkatan yang tidak percaya dan yang sesat” (Mat. 17:17). Dengan semangat untuk menaati Alkitab, sebagian orang sangat gemar mengategorikan orang lain sebagai pengikut ajaran sesat.

Sikap ini tentu saja perlu dipikirkan ulang secara lebih mendalam. Penggunaan kata “sesat” dalam Alkitab mengandung makna yang berbeda dengan penggunaannya sekarang ini. Dalam Alkitab kata “sesat” lebih mengarah pada pemikiran yang melenceng dari firman Tuhan, bukan pada kelompok orang tertentu. Hal ini terlihat dari fakta bahwa sebutan “sesat” juga disematkan pada jemaat TUHAN juga (1Kor. 6:9; 15:33; Gal. 6:7). Yakobus sendiri bahkan berkata: “Saudara-saudaraku yang kukasihi, janganlah sesat” (Yak. 1:16). Sebutan “saudara-saudara yang kukasihi” menyiratkan penilaian dan keyakinan Yakobus terhadap keselamatan penerima suratnya.

Dalam konteks sekarang istilah “sesat” sarat dengan muatan-muatan teologis dan historis. Dari sisi teologis, kesesatan cenderung dilekatkan dengan sistem teologi tertentu yang keliru atau para pengikut ajaran tersebut. Mereka yang diberi label “sesat” biasanya dianggap bukan bagian dari kekristenan yang benar. Mereka belum diselamatkan di dalam Kristus. Dari sisi historis, istilahh “sesat” mengandung konotasi yang kurang menyenangkan. Seseorang atau sekelompok religius tertentu yang dipandang sesat seringkali diperlakukan secara kejam. Ada yang dianiaya, bahkan ada pula yang dibunuh. Labelisasi “sesat” dalam konteks sekarang terdengar lebih serius dan negatif dibandingkan dengan penggunaan kata yang sama di dalam Alkitab.

Penjelasan di atas tentu saja tidak berarti bahwa labelisasi merupakan sebuah dosa. Pemunculan kata “sesat” dalam Alkitab memang seringkali dikaitkan dengan kesalahan teologis yang cukup mendasar. Jemaat Korintus tidak memercayai kebangkitan tubuh (1Kor. 15:12, 33). Jemaat Galatia terpengaruh oleh Injil yang lain (Gal. 6:7). Para guru palsu mengajarkan kesesatan yang membinasakan (2Pet. 2:1).

Walaupun demikian, penjelasan di atas mengajarkan agar kita tidak buru-buru menyebut suatu kelompok religius tertentu sesat atau agar berhati-hati dengan muatan teologis – historis di balik istilah “sesat.” Tidak setiap perbedaan maupun kesalahan teologis layak dikategorikan sesat (dalam arti kontemporer). Lagipula, Alkitab tidak menyediakan patokan detail dan lengkap untuk menentukan kategori sesat dan tidak sesat. Tidak ada indikator apapun buatan manusia yang diterima oleh semua kelompok religius. Masing-masing kelompok menilai kelompok lain berdasarkan kriteria yang kelompok itu buat sendiri. Bias dan subjektivitas seringkali tidak terhindarkan.

Salah satu patolan yang cukup aman dibatasi pada Injil Yesus Kristus. Maksudnya, ajaran-ajaran yang berhubungan dengan keselamatan. Sebagai contoh, keselamatan ditentukan oleh pengakuan terhadap Yesus Kristus sebagai Tuhan yang disalibkan dan bangkit dari antara orang mati (Rm. 10:9-10; 1Kor. 15-3-4). Menerima tiga keyakinan fundamental ini – ke-Tuhanan, kematian dan kebangkitan Yesus – tidak dapat dikompromikan. Dengan cara yang sama penolakan terhadap doktrin-doktrin dasar yang berpotensi membahayakan keselamatan seseorang juga layak diperhitungkan sebagai kesesatan, misalnya menolak Yesus sebagai Allah yang menjadi manusia (disebut sebagai dosa yang mendatangkan maut di 1 Yohanes 5). Ajaran keselamatan yang berpusat pada dan ditentukan oleh usaha manusia juga termasuk Injil palsu yang menyesatkan (Gal. 6:7). Pendeknya, segala ajaran yang menentukan dan berpotensi membahayakan keselamatan orang percaya sebaiknya disikapi secara lebih tegas dan penuh kewaspadaan. Di luar poin-poin tersebut perbedaan masih bisa dianggap wajar, walaupun tetap belum tentu bisa dibenarkan.

Sebagai penutup, kita perlu mengembangkan sikap seimbang yang mencerminkan kasih setia dan kebenaran (bdk. Yoh. 1:14). Kebenaran dan keadilan tetap perlu dikumandangkan dengan kencang, tetapi penilaian kita terhadap pandangan orang lain perlu diwarnai dengan belas kasihan dan kerendahhatian. Soli Deo Gloria.

Photo by Laurenz Kleinheider on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community