Apakah Apologetika Diperlukan Di Tengah Kemajemukan Relijius?

Posted on 15/07/2018 | In QnA | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/apakah-apologetika-diperlukan-di-tengah-kemajemukan-relijius.jpg Apakah Apologetika Diperlukan Di Tengah Kemajemukan Relijius?

Sejak satu dekade terakhir ini pelayanan apologetika menjadi semakin marak di Indonesia. Antusiasme dan responns positif pun terus meningkat. Di kalangan anak-anak muda Kristen yang mau berpikir secara kritis, berbagai seminar apologetika menjadi momen yang sangat dinantikan. Saya bersyukur kepada Allah karena Dia berkenan melibatkan saya dalam pelayanan apologetika ini melalui API (Apologetika Indonesia).

Bagaimanapun, respons yang ada tidak selamanya positif. Masih ada keraguan terhadap efektivitas pelayanan apologetika. Ada pula keengganan untuk turut menjeburkan diri dalam pelayanan ini. Bahkan, harus diakui, ada suara-suara berbeda yang menganggap pelayanan apologetika bisa berpotensi untuk merusak semangat kebangsaan yang ingin ditumbuhkan dalam konteks kemajemukan relijius di Indonesia.

Benarkah apologetika bisa bersifat kontraproduktif bagi semangat kebangsaan? Apakah apologetika sebaiknya dihindari demi menjaga keharmonisan antar umat beragama? Sama sekali tidak! Kita justru lebih memerlukan apologetika di tengah situasi seperti ini.

Hal pertama yang perlu dilakukan di sini adalah menjernihkan kesalahpahaman populer tentang apologetika. Sebagian orang menyamakan apologetika dengan perdebatan, padahal perdebatan hanyalah salah satu sarana apologetika. Masih banyak sarana lain yang bisa dimanfaatkan. Lagipula, apologetika yang benar justru menentang perdebatan yang kasar, arogan, dan diwarnai kebencian. Alkitab memerintahkan kita untuk memberikan jawaban dengan lemah-lembut, hormat, dan tulus (1Pet. 3:15-16). Jadi, mereka yang berdebat secara kasar dan arogan sebenarnya tidak menghidupi apa yang mereka sedang perjuangkan.

Yang kedua, semangat untuk merengkuh perbedaan harus dimulai dari pemahaman bahwa kita memang berbeda. Sebagian orang yang bersemangat untuk merengkuh perbedaan cenderung untuk meniadakan (baca: menyangkali) perbedaan-perbedaan yang ada. Kesamaan-kesamaan yang superfisial dimajukan ke depan, sementara perbedaan-perbedaan fundamental diabaikan. Beberapa kali saya diundang dalam forum kebersamaan antar iman, dan sikap seperti itulah yang saya sering temukan dalam acara-acara tersebut.

Sikap ini justru, menurut saya, kurang bijaksana. Kasih kita terhadap penganut ajaran lain justru diuji ketika kita menyadari bahwa antara kita dan mereka terdapat perbedaan-perbedaan fundamental, bahkan pertentangan doktrinal. Tatkala kita mampu menghargai perbedaan tersebut dan tetap mau bekerja sama membangun Indonesia, itulah semangat kebangsaan yang dewasa.

Yang ketiga, interaksi yang intensif dengan penganut agama lain pasti akan mendorong masing-masing pihak untuk memahami posisi diri sendiri dan orang lain. Tidak kenal maka tidak sayang. Begitu kata pepatah. Nah, semakin kita mengenal ajaran agama-agama lain, semakin kita mengetahui bahwa agama-agama itu memang berbeda. Sebagai contoh: Alquran secara eksplisit dan beberapa kali mengajarkan bahwa Yesus Kristus (Isa Almasih) tidak mati di atas kayu salib (An Nisa 157-158), tidak dibangkitkan (sebagai konsekuensi dari penyangkalan terhadap kematian-Nya di atas kayu salib), dan bukan Tuhan (baca Al Maidah 72, 116; An Nisa 171). Semua ajaran ini bertentangan dengan doktrin dasar kekristenan. Bahkan kekristenan sejati ditentukan oleh pengakuan seseorang bahwa Yesus adalah Tuhan yang mati dan dibangkitkan (Rm. 10:9-10). Di luar contoh ini kita bisa menambahkan perbedaan-perbedaan fundamental antara kekristenan dan agama-agama yang lain.

Dari penjelasan singkat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa apologetika (yang benar) justru turut menumbuhkan semangat kebangsaan. Melalui pelayanan apologetika orang-orang Kristen dituntun untuk mengerti keunikan doktrin di masing-masing agama. Pemahaman ini menjadi bekal untuk membangun dialog dan interaksi yang jujur dan terbuka. Apapun perbedaan yang ada, jangan sampai hal itu menghalangi kita untuk mengasihi dan bekerja sama membangun bangsa Indonesia. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community