
Selama beberapa dekade terakhir gereja-gereja Injili diperkenalkan pada sebuah gerakan yang ingin meletakkan kembali Injil sebagai pusat dari kehidupan dan pelayanan. Gerakan ini sudah merambah berbagai bidang: kepemimpinan, khotbah, pola asuh dalam keluarga, konseling, dan sebagainya. Nama-nama terkenal turut mempopulerkan dan mengokohkan gerakan ini, misalnya Timothy Keller, Donald A. Carson, John Piper, Bryan Chapel, Matt Chandler, Kyle Idleman, David Powlison, dan sebagainya.
Geliat spiritual ini terus merebak di berbagai kalangan. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia dan berbagai belahan dunia lainnya. Allah sedang bekerja di antara umat-Nya. Allah sedang mereformasi gereja-Nya.
Di tengah setiap kemajuan selalu ada tantangan dan godaan. Tidak semua kalangan Injil menyetujui gerakan ini. Beberapa yang menyetujui juga masih menyimpan beberapa pertanyaan. Sebagian lagi yang menyetujui tidak terlalu serius melibatkan diri. Bahkan mereka yang sudah melibatkan diri kadangkala kurang berhati-hati.
Respons beragam di atas dalam taraf tertentu memang bisa dimaklumi, bahkan dibenarkan. Tidak ada asap tanpa api. Beberapa penggiat keterpusatan Injil kurang berhati-hati dalam mewaspadai beberapa bahaya.
Pertama, bahaya oversimplifikasi. Salah satu karakteristik gerakan ini adalah pembersihan hati dari berbagai berhala. Dengan tepat para penggiat gerakan telah mendiagnosa hati sebagai akar persoalan. Secara lebih khusus, akar persoalan adalah hati yang dipenuhi dengan berhala. Solusi yang ditawarkan juga tepat: Injil Yesus Kristus, dalam arti penebusan-Nya yang sempurna dan beranugerah sebagai sumber keberhargaan, keamanan, penghiburan, dan sebagainya.
Walaupun demikian, kebenaran ini perlu dipahami dengan lebih luas. Injil sebagai solusi bukan berarti meniadakan upaya-upaya lain. Mengobati akar persoalan bukan berarti mengabaikan gejala-gejala lainnya. Sama seperti tubuh yang sakit tidak hanya membutuhkan obat tetapi juga istirahat dan makanan yang berkhasiat, demikian pula dengan transformasi diri melalui Injil. Sebagai contoh, konseling yang berpusat pada Injil tetap melibatkan teknik dan terapi tertentu sebagai alat bantu, sejauh hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan keutamaan Injil. Beberapa penyakit psikologis yang klinis tetap membutuhkan obat-obatan tertentu untuk menenangkan pikiran.
Kedua, bahaya “pemberhalaan” Injil. Jika tidak berhati-hati beberapa penggiat gerakan keterpusatan pada Injil justru bisa melakukan kesalahan yang sangat fatal, yaitu membanggakan gerakan ini. Komitmen pada Kristus sebagai esensi Injil bisa bergeser pada gerakan (baca: metodologi atau konsep teologisnya) sebagai hal yang diandalkan.
Bahaya ini dapat dikenali pada saat seseorang memandang rendah orang lain atau gereja lain yang belum memahami atau melibatkan diri dalam gerakan ini. Merasa diri lebih baik dari pihak lain karena menganggap diri telah mengenal Injil secara lebih benar justru bertabrakan dengan apa yang ingin dicapai dalam gerakan ini.
Ketiga, bahaya anti disiplin rohani. Berpusat pada Injil berarti menghindarkan diri dari legalisme. Istilah “legalisme” merujuk pada paham yang berpusat pada usaha manusia dalam memperoleh perkenanan dari Allah. Kesalehan manusia dijadikan kebanggaan dan pembenaran dalam relasi dengan Allah. Legalisme sangat ditentang dalam Gospel-centered movement.
Sayangnya, kebenaran di atas kadangkala disalahpahami. Sekalipun dipahami dengan benar, kebenaran ini kadangkala ditekankan secara berlebihan. Beberapa orang menjadi alergi terhadap disiplin rohani. Mereka kuatir kalau disiplin rohani mereduksi persandaran pada anugerah Allah. Disiplin rohani diidentikkan dengan kesalehan manusiawi.
Hal ini tentu saja tidak dapat dibenarkan. Tidak semua disiplin rohani bersifat legalistik. Selama disiplin rohani tidak dijadikan sebagai ukuran maupun tujuan pertumbuhan spiritual, disiplin rohani justru menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan. Melalui disiplin rohani yang benar, kita justru bisa melakukan kalibrasi hati secara terus-menerus dengan karya penebusan Kristus. Dalam disiplin rohani setiap hari kita merayakan keindahan Injil dan keberhargaan Kristus bagi kita. Soli Deo Gloria.
Photo by Fa Barboza on Unsplash