Dalam tulisan sebelumnya saya sudah menjelaskan faktor-faktor penyebab mengapa kita kadangkala merasa Tuhan begitu jauh. Di sana saya menyinggung tentang tiga alasan utama: harapan-harapan (keliru) yang tidak terpenuhi (umet expectations), persoalan-persoalan yang tidak terselesaikan (unsolved problems) dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab (unanswered questions). Sekarang saya ingin berbagi tentang bagaimana kita seharusnya menyikapi situasi ini.
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menenangkan diri. Apa yang sedang kita hadapi adalah wajar. Banyak tokoh hebat di dalam Alkitab juga pernah berada dalam keadaan yang sama. Yeremia mengutuki kelahirannya (Yer. 20). Ayub bergumul panjang untuk mencari jawaban, walaupun akhirnya dia tetap tidak mendapat jawaban seperti yang dia harapkan (Ay. 42:3-4). Habakuk bingung dengan cara kerja TUHAN (Hab. 1:2, 12). Elia pernah putus asa (1Raj. 19), demikian pula dengan Paulus (2Kor. 1:8-9). Yohanes Pembaptis mengalami keraguan (Mat. 11:1-3).
Apakah wajar berarti benar? Tidak juga. Namun, dengan mengerti contoh-contoh di atas, kita akan dikuatkan. Ada harapan bagi kita. Kalau tokoh-tokoh itu akhirnya, oleh kemurahan Allah, berhasil melewati keraguan dan keputusasaan, kita juga akan dituntun oleh Allah pada jalur kemenangan yang sama.
Jangan membeli opini-opini yang mengatakan bahwa orang-orang Kristen adalah kumpulan orang hebat. Keadaan kita akan terus-menerus luar biasa. Semua jargon ini tidak sesuai keadaan di lapangan. Kita tidak perlu menjadi hebat untuk menunjukkan kehebatan Tuhan. Seperti Paulus, kita justru berkata: “ketika aku lemah, aku kuat” (2Kor. 12:9-10). Kristuslah kekuatan kita.
Hal selanjutnya yang perlu dilakukan adalah memikirkan ulang harapan-harapan kita kepada Tuhan. Tatkala kita mengikuti Dia, apakah motivasi dan konsep kita sudah benar? Sebagian orang terbuai dengan teologi kemakmuran. Mereka mengharapkan kenyamanan, kesuksesan dan kekayaan ketika memutuskan untuk mengikuti Tuhan. Ini bukan pengikutan, tetapi pemanfaatan. Mereka hanya ingin memanipulasi Kristus, bukan mengikuti Dia.
Alkitab juga mencatat tentang situasi seperti ini. Banyak orang percaya kepada Yesus karena melihat begitu banyak mujizat yang Dia lakukan, tetapi Yesus sendiri justru tidak mau memercayakan diri kepada mereka (Yoh. 2:23-25). Sebagian orang bahkan mengikuti Yesus karena kebutuhan jasmani mereka terpenuhi (Yoh. 6:25-26), sehingga tidak heran mereka menjadi orang-orang yang dengan mudah meninggalkan Dia ketika keadaan tidak sesuai harapan (Yoh. 6:60, 66).
Marilah kita memerbarui pengiringan kita. Kita siap untuk menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti Dia kemana saja Dia pergi (Mat. 16:24). Kita bukan sekadar penggemar, tetapi pengikut. Bukan hanya percaya untuk mendapatkan sesuatu, tetapi tetap percaya sekalipun tidak mendapatkan apa-apa. Sama seperti Petrus dan murid-murid lain, kita siap berkata: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah” (Yoh. 6:68-60).
Respons ketiga adalah merayakan kemenangan ultimat di dalam Kristus. Persoalan terbesar kita – yaitu dosa – sudah dibereskan oleh Tuhan di atas kayu salib. Ketakutan kita yang terbesar – yaitu kematian – sudah dikalahkan oleh Tuhan di dalam kubur yang kosong. Jika yang terberat sudah diselesaikan, kita bisa tenang meyakini bahwa segala sesuatu yang kita perlukan untuk keselamatan pasti akan disediakan. Paulus sendiri berkata: “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Rm. 8:32).
Frasa kuncinya adalah “yang diperlukan untuk keselamatan”. Kita memiliki banyak keinginan, tetapi tidak semua itu merupakan kebutuhan. Kita seringkali tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, lalu kita menafsirkan itu sebagai sebuah persoalan. Ini jelas sebuah kekeliruan. Persoalan justru akan muncul jika semua keinginan kita terpenuhi. Keinginan kadangkala menghancurkan, jika itu bukan menjadi kebutuhan.
Respons yang tidak kalah penting adalah mengubah konsep kita tentang “persoalan beres”. Apakah kriteria untuk mengatakan suatu persoalan sudah beres? Kita seringkali menganggap keadaan beres apabila keadaan atau orang lain diubah. Harapan semacam ini menyesatkan dan memberatkan. Jalan keluar yang Allah sediakan tidak selalu berupa perubahan keadaan. Tidak jarang Dia justru mengubahkan karakter kita dan menjadikan itu sebagai sebuah solusi. Jadi, Dia tidak mengurangi beban kita, tetapi menambahkan kekuatan atau kedewasaan kita (Yak. 1:2-4). Jika kita selalu menjadikan perubahan keadaan atau orang lain sebagai patokan beresnya sebuah persoalan, kita akan mendapati bahwa banyak persoalan dalam hidup kita tidak beres-beres. Sebuah persoalan dikatakan beres apabila mencapai muncul kebaikan darinya, bukan kenyamanan atau kesenangan.
Yang kelima, kita perlu mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita dengan cara yang benar. Tidak semua pertanyaan perlu dirisaukan. Alkitab memang tidak ditulis untuk memenuhi rasa ingin tahu manusia. Ada hal-hal tertentu yang Allah sengaja tidak singkapkan bagi kita (Ul. 29:29). Belajar untuk puas dengan penyataan Allah dalam Alkitab. Lagipula, pikiran kita juga sangat terbatas untuk memahami semua penyataan Allah. Hikmat dan pengetahuan Allah jauh melampaui pikiran manusia yang terpintar sekalipun (Rm. 11:33-35). Ada hal-hal tertentu yang selamanya akan menjadi misteri bagi kita. Selain belajar bertanya, kita juga perlu belajar untuk berhenti bertanya.
Untuk pertanyaan-pertanyaan yang memang layak untuk diajukan, kita tidak boleh berhenti menanyakannya. Hampir semua pertanyaan kita bukanlah pertanyaan yang baru. Para pemikir hebat dalam kekristenan sudah pernah menggumulkannya. Mereka juga sudah lebih dahulu sampai pada jawabannya. Kita bisa membaca tulisan mereka atau menonton video mereka. Opsi lain adalah menanyakan pada hamba Tuhan yang tepat, yaitu yang menggumulkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang kekristenan secara serius. Mereka disebut apologis (orang yang siap memberikan pembelaan rasional kepada orang lain yang memertanyakan kekristenan).
Yang terakhir adalah berserah pada Tuhan. Ketika kita tidak bisa mengerti maksud Tuhan, kita sebaiknya tetap berada dekat dengan Dia. Walaupun kita seperti binatang yang dungu, kita tetap berada di sisi-Nya (Mzm. 73:21-23). Walaupun kita tidak bisa melihat tangan-Nya bekerja, kita masih bisa percaya bahwa hati-Nya tetap ada untuk kita. Soli Deo Gloria.