Frasa di atas merupakan kutipan dari penjelasan Paulus tentang kasih (1Kor. 13:4-7). Ada 15 kata kerja yang digunakan untuk menerangkan kasih. Deretan kata kerja ini menyiratkan bahwa kasih mencakup tindakan, bukan sekadar perkataan atau perasaan. Salah satu tindakan yang mencerminkan kasih adalah “percaya segala sesuatu.”
Sebagian orang mengalami kesulitan untuk memahami, apalagi menerima, perkataan ini. Jika mengasihi berarti mempercayai apa saja yang dikatakan oleh orang lain, bagaimana jika orang lain adalah orang yang tidak bisa dipercaya? Apakah kita harus selalu menerima perkataan atau janji seorang pembohong?
Kesulitan di atas telah mendorong beberapa orang untuk menafsirkan kalimat di atas dalam kaitan dengan Allah, bukan dengan sesama. Dengan kata lain, mereka berpendapat bahwa Paulus sedang menasihati jemaat Korintus untuk mempercayai Allah. Penafsiran semacam ini tampaknya kurang sesuai dengan konteks. Kata “segala sesuatu” muncul sebanyak 4 kali di ayat 7 (“menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu”). Pemunculan yang pertama (lit. “bersabar terhadap segala sesuatu”) dan terakhir (lit. “tekun menanggung segala sesuatu”) secara jelas merujuk pada relasi dengan sesama. Orang yang mengasihi akan bersabar dengan orang lain yang menjengkelkan maupun keadaan yang tidak menyenangkan. Jika benar demikian, percaya segala sesuatu dan mengharapkan segala sesuatu sebaiknya juga dikaitkan dengan relasi horizontal. Poin ini juga sesuai dengan deretan karakteristik kasih di ayat 4-7 yang memang lebih mengarah pada relasi dengan sesama. Di samping itu, seandainya Paulus memaksudkan “percaya segala sesuatu dan mengharapkan segala sesuatu” dalam kaitan dengan Allah, dia mungkin akan menggunakan ungkapan yang lebih jelas dan umum, misalnya “percaya Allah dalam segala sesuatu” atau “mengharapkan segala sesuatu dari Allah.” Jadi, percata segala sesuatu memang lebih diletakkan dalam konteks relasi horizontal dengan sesama.
Apakah hal ini berarti bahwa mengasihi seseorang harus menelan mentah-mentah apapun yang dikatakan oleh orang tersebut? Tentu saja tidak! Kasih tidak dapat dipisahkan dari kebenaran (ayat 6 “ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran”). Di tempat lain Paulus juga mengingatkan jemaat Korintus terhadap pergaulan buruk yang bisa menyesatkan (15:33).
Percaya segala sesuatu lebih mengarah pada sikap yang tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Ini berarti kita mau mengharapkan hal-hal yang baik dari dan bagi orang lain. Kita melihat harapan yang melampaui keburukan seseorang. Itulah sebabnya “percaya segala sesuatu” langsung diikuti dengan “mengharapkan segala sesuatu.”
Dalam kalimat yang lebih sederhana, percaya segala sesuatu dapat diungkapkan dalam sebuah kalimat: Lebih baik percaya daripada tidak percaya. Ketika kita memilih untuk tidak percaya terlebih dahulu (berprasangka buruk), kita memiliki tugas untuk membuktikan bahwa dugaan tersebut benar. Beban pembuktian ada di pundak kita. Sebaliknya, jika kita memilih untuk percaya, beban pembuktian ada di pundak orang yang mengucapkan perkataan. Prasangka buruk juga seringkali mengindikasikan bahwa kita tidak mempercayai Allah yang sanggup untuk mengubahkan hati manusia. Ketidakpercayaan kepada Allah ini juga membuat kita akhirnya kehilangan harapan.
Bagaimana jika orang lain ternyata memang tidak bisa dipercaya? Resiko seperti ini memang mungkin saja terjadi. Tidak ada cinta yang tanpa luka. Yesus Kristus sendiri disakiti dan dikecewakan oleh banyak orang, termasuk murid-murid yang bertahun-tahun menikmati kedekatan dan kebaikan-Nya.
Walaupun demikian, kekecewaan karena mempercayai dan mengharapkan orang lain tidak boleh meruntuhkan keyakinan dan pengharapan kita kepada Tuhan. Allah pasti akan bertindak seturut dengan kebenaran, kesucian, dan keadilan-Nya. Dia tidak tinggal diam, entah Dia akan memberikan hukuman atau membawa orang tersebut ke dalam pertobatan. Soli Deo Gloria.
Photo by Mayur Gala on Unsplash