Allah: Tunggal atau Tritunggal?

Posted on 22/05/2022 | In QnA | Ditulis oleh Ev. Denny Teguh Sutandio | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/06/Allah-Tunggal-atau-Tritunggal.jpg Allah: Tunggal atau Tritunggal?

Belakangan ini, di media sosial, doktrin ketunggalan Allah (oneness of God) cukup viral di kalangan Kekristenan. Keviralan ini dibuktikan dengan munculnya sinode gereja yang terang-terang percaya bahwa Allah itu tunggal dan buku (yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) yang ditulis oleh Eric H. H. Chang yang mengakui kuliah teologi di University of London. Konsep ini disebut sebagai unitarianisme. I. Breward mendefinisikan seorang Unitarian “menekankan ketunggalan Allah dan menyangkal keilahian Yesus Kristus dan Roh Kudus. Mereka berkomitmen pada kebebasan, akal sehat, dan toleransi sebagai konteks esensial bagi agama yang benar-benar pribadi dan sosial” (New Dictionary of Theology, s.v. “Unitarianism.”). Unitarianisme terdiri dari agama Islam dan “Kristen” Unitarian/Oneness.

 

Unitarianisme dan Pengajarannya

Unitarianisme selalu mengklaim bahwa mereka hadir mengkritik Tritunggal yang diklaimnya diciptakan oleh bapa gereja khususnya Tertulianus dan tidak pernah diajarkan Kristus dan para rasul-Nya. Eric H. H. Chang mengatakan bahwa tujuannya menulis bukunya, “untuk memberi peringatan bahwa gereja Kristen telah menyimpang dari kebenaran yang ditemukan dalam firman Allah, yakni Alkitab” (Eric H. H. Chang, The Only True God, 12-13). Kemudian, mereka juga mengkritik Trinitarian untuk memperhatikan teks-teks Alkitab yang dipakai untuk mendukung Tritunggal. Misalnya, ketika membahas Yohanes 11:25 yang dipakai sebagai bukti Trinitarian bahwa Yesus adalah Allah, Chang sang Unitarian menuduh Trinitarian, “Namun, seperti biasanya, mereka tidak mau repot-repot memandang konteksnya” (Ibid., 71). Ia mengaku bahwa Unitarian lebih kontekstual daripada Trinitarian.

Dengan tujuan ingin merevisi inilah, mereka selalu berkata bahwa Tritunggal itu berkontradiksi dengan logika alias tidak masuk akal. Misalnya, mantan Katolik yang menjadi Muslim, Purwanto Abd Al-Ghafar berkata, “Konsep trinitas adalah konsep yang irasional (bertentangan dengan akal) dan ke-irasionalan-nya itu malah dianggap oleh penganutnya sebagai yang transrasional” (Purwanto Abd Al-Ghaffar, Tuhan yang Menenteramkan, Bukan yang Menggelisahkan: Studi Banding Tauhid dan Trinitas, 246). Bahkan Ghafar bilang bahwa Tritunggal itu kontradiktif dan tidak logis, “Bagaimana yang satu disebut tiga, dan tiga disebut satu?” (Ibid., 261).

Kemudian, mereka mulai merumuskan doktrin bahwa Allah itu tunggal dengan cara menciptakan sejarah versi mereka untuk mendukung konsep mereka dan menafsirkan ulang teks-teks Alkitab khususnya Perjanjian Baru yang jelas-jelas mengajarkan Tritunggal. Pertama, mereka menciptakan sejarah untuk mendukung konsep mereka. Salah satu penganut Unitarianisme yaitu Islam percaya bahwa Tritunggal bukan ajaran asli Kristen, tetapi berasal dari paganisme (penyembahan berhala). Lalu, seperti tuduhan Muslim pada umumnya, Yesus diangkat menjadi Tuhan pada Konsili Nicea pada tahun 325 Masehi (https://muslim.or.id/10995-batilnya-konsep-trinitas-dalam-nashrani.html).

Kedua, mereka menafsirkan ulang teks-teks Alkitab yang jelas-jelas mengajarkan Tritunggal agar sesuai dengan konsep mereka. Dalam mengkritik tafsiran Tritunggal tentang kata ’eḥāḏ, Eric H. H. Chang berargumentasi bahwa kata ’eḥāḏ dengan pasti berarti “ketunggalan” (Kej. 27:38; 40:5; Kel. 10:19; 14:28; 25:36; Ul. 19:15; Yos. 23:10; Hak. 13:2; 1Sam. 26:20; Yes. 34:16; dst). Kata ini juga dimengerti sebagai “kesatuan” sesuai dengan konteksnya. Artinya ketika kata ’eḥāḏ ini berkaitan dengan kata seperti “disatukan sebagai satu,” maka kata ini merujuk pada kesatuan. Misalnya, di Hakim-hakim 20:8 (ESV) tertulis, “semua rakyat bangun sebagai satu orang.” Kata “satu” dalam bhs Ibrani ’eḥāḏ jelas merujuk pada kesatuan (Chang, The Only True God, 44-45). Oleh karena itu, kata ’eḥāḏ dalam Ulangan 6:4 berarti tunggal.

Karena mempercayai monoteisme mutlak, maka Chang menjelaskan tentang Yesus, “tidak sekali pun ia pernah mengklaim dirinya setara dengan Allah.” Kemudian ia mengutip Filipi 2:6 (ESV) bahwa Yesus “tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai sesuatu yang harus dirampas” (Chang, The Only True God, 4). Kata “dirampas” menurut Chang dalam kata Yunaninya harpazo dan kata ini juga dipakai di Yohanes 6:15 dan artinya, “Yesus tidak pernah berusaha mengambil dengan paksa, atau merampas kesetaraan dengan Allah” (Chang, The Only True God, 31).

 

Tinjauan Kritis Terhadap Unitarianisme

Bagaimana kita menjawab tuduhan-tuduhan di atas? Pertama, benarkah konsep Tritunggal dalam Kekristenan berasal dari paganisme? Seorang ahli PB, Larry Hurtado mengutip 1 Tesalonika 1:9-10 untuk melawan konsep bahwa Tritunggal berasal dari paganisme. Beliau menjelaskan bahwa surat 1 Tesalonika dipercaya adalah tulisan PB yg paling awal dan di dalam surat ini, Allah yang hidup dan benar (monoteisme) dikontraskan dengan berhala-berhala dan Yesus, Anak Allah dikaitkan dgn Allah yang hidup dan benar itu (Larry W. Hurtado, Sesungguhnya Yesus Adalah Allah: Pertanyaan-pertanyaan tentang Penyembahan Mula-mula Kepada Yesus, 55). Menariknya, Yesus ini “menyelamatkan kita dari murka yang akan datang.” Ini jelas merujuk pada keilahian Yesus. Murka yang akan datang jelas merujuk pada penghakiman Allah. Jika Yesus bukan Allah, maka Dia tidak mungkin dapat menyelamatkan umat-Nya dari penghakiman Allah karena manusia biasa meskipun didiami Bapa sekalipun mustahil dapat menyelamatkan manusia dari penghakiman Allah. Hurtado menyimpulkan, “penyembahan kepada Yesus, sambutan dan pengakuan akan Yesus, semuanya dikemas dengan acuan kepada Allah yang Esa” (Ibid., 56). Hurtado menjelaskan kembali bahwa Tritunggal jelas bukan berasal dari paganisme karena di dalam paganisme, ada keterbukaan untuk menerima satu dewa baru atau membayangkan figur-figur manusia yang dianggap seperti allah yang layak disembah (apotheosis atau mendewakan manusia). Sedangkan Kekristenan jelas tidak mungkin menambah dewa baru atau mendewakan manusia (Ibid., 58).

Bagaimana dengan tuduhan bahwa Konsili Nicea mengangkat Yesus sebagai Tuhan? Tuduhan ini sangat tidak berdasar. Kepercayaan Yesus sebagai Allah dan secara keseluruhan konsep Tritunggal telah dipercaya sekitar dua abad sebelum Konsili Nicea. Misalnya, bapa gereja Clement dari Roma yang menjadi uskup Roma pada tahun 92-101 M (yang dipercaya sebagai salah satu murid rasul Petrus) sudah menyebutkan formula tritunggal (1 Clement 46:6 dan 58:2). Lagipula, Konsili Nicea bukan baru merumuskan Yesus sebagai Allah, tetapi konsili ini menjawab ajaran sesat Arius yang mengatakan bahwa Yesus adalah allah yang lebih rendah dari Bapa, sehingga Yesus tidak seharusnya disembah.

Terkait dengan kata ’eḥāḏ, maka kita dapat menjawab bahwa kata ’eḥāḏ ini memiliki banyak arti, bukan hanya sekadar ketunggalan maupun kesatuan seperti terkaan Chang. Misalnya, ’eḥāḏ dapat diterjemahkan sebagai satu secara angka (Kej. 1:9; 27:38, 45; Kel. 12:49; Yos. 23:10; 1Sam. 1:24; 2Sam. 12:3; Zak. 14:9; Mal. 2:10; Ayb. 31:15; dst), setiap (Kel. 36:30; Bil. 7:3, 85; 28:21; 1Raj. 4:7; 2Raj. 15:20; dst), urutan pertama (Kej. 1:5; 2:11; Kel. 39:10; Ez. 10:14; Ayb. 42:14; dst), satu-satunya (1Raj. 4:19), sekali (2Raj. 6:10; dst), eksklusivitas (Ul. 6:4), dll. Lalu, apa arti ’eḥāḏ di Ulangan 6:4? Kata ini jelas berarti eksklusivitas YHWH dibandingkan para ilah lainnya, bukan pada satu pribadi Allah. Sebagai seorang sarjana Yahudi, Jeffrey H. Tigay menafsirkan kata ’eḥāḏ, “Ini bukan pernyataan monoteisme, artinya hanya ada satu Allah” (Jeffrey H. Tigay, Deuteronomy, 76). Kalau bukan monoteisme, berarti kata ini merujuk pada eksklusivitas YHWH dibandingkan ilah-ilah lain yang dipercaya oleh bangsa-bangsa non-Israel. Hal ini dibuktikan di Ulangan 3:24, “Ya, Tuhan ALLAH, Engkau telah mulai memperlihatkan kepada hamba-Mu ini kebesaran-Mu dan tangan-Mu yang kuat; sebab allah manakah di langit dan di bumi, yang dapat melakukan perbuatan perkasa seperti Engkau?” Ini berarti di antara para ilah yang dipercaya oleh bangsa-bangsa non-Israel, hanya YHWH yang patut disembah sebagai Allah (Ibid.).

Bagaimana dengan Filipi 2:6? Filipi 2:6 merupakan salah satu ayat favorit Unitarian atau anti-Trinitarian untuk menyerang Trinitas. Chang mengkhususkan kata “dirampas” utk menunjukkan bukti bahwa Yesus memang tidak menyandang status ilahi dari awalnya. Kata Yunani yang dipakai adalah harpagmon dari kata harpagmos. TDNT (salah satu leksikon Yunani) menerjemahkan kata ini menurut Filipi 2:6, “Ia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai suatu keuntungan, baik dalam arti sesuatu yang tidak boleh dilewatkan, atau dalam arti sesuatu yang tidak boleh dibiarkan tidak dimanfaatkan” (TDNT, s.v. “ἁρπάζω, ἁρπαγμός”). Maksudnya Yesus tidak menganggap kesetaraan-Nya dengan Bapa sebagai suatu keuntungan yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin, tapi mengosongkan diri-Nya menjadi seorang hamba dan manusia bahkan taat sampai mati (ay. 6-8). Ini berarti dari awal Yesus sudah setara dengan Bapa, sehingga Ia mengosongkan diri-Nya alias tidak memanfaatkan keuntungan-Nya setara dengan Bapa itu demi keegoisan-Nya sendiri. Doktrin ini adalah dasar bagi kerendahan hati (ay. 3-4). Rendah hati berarti orang yang sudah tinggi tidak menganggap dirinya tinggi, tapi rela merendah demi orang lain. Jika “merampas” di sini berarti Yesus pada awalnya bukan Allah, maka Pdt. Yakub Tri Handoko di dalam ringkasan khotbahnya menjelaskan, “Jika Kristus belum memiliki kesetaraan dengan Allah, lalu untuk apa dituliskan bahwa Dia mengosongkan diri-Nya (ayat 7a)? Dia tidak mungkin mengosongkan apa yang Dia dari awal memang tidak miliki. Selain itu, jika Dia sekadar tidak mau merampas sesuatu yang memang bukan menjadi milik-Nya, bagaimana Dia bisa dijadikan teladan kerendahhatian?” (https://www.rec.or.id/eksposisi-filipi-25-8/)

 

Signifikansi dan Relevansi

Alkitab dengan tegas mengajarkan Allah yang dipercaya oleh orang Kristen adalah Allah Tritunggal, yaitu satu esensi Allah yang terdiri dari tiga pribadi Allah yang berbeda (bukan terpisah), yaitu Bapa, Putra, dan Roh Kudus (Mat. 28:19). Penjelasan lebih lengkap oleh Pdt. Yakub Tri Handoko dapat dibaca di https://rec.or.id/apa-saja-kesalahpahaman-umum-tentang-doktrin-tritunggal/ atau/dan didengarkan di: https://www.youtube.com/watch?v=6Vpv6LlUKAQ, https://www.youtube.com/watch?v=MvWEDG5MYe8, dan https://www.youtube.com/watch?v=7Of4PHgs4LE. Lalu, apa signifikansi dan relevansi kita percaya bahwa Allah itu tunggal atau Tritunggal? Ketika kita percaya Allah itu Tritunggal, maka keselamatan kita pasti beres karena Yesus yang menyelamatkan kita dari dosa dan murka Bapa adalah Allah sendiri dan Roh Kudus yang berdiam di dalam hati kita adalah Allah. Sedangkan ketika kita percaya bahwa Allah itu tunggal, maka sangat tidak masuk akal percaya Yesus yang menyelamatkan manusia dari dosa bukanlah Allah. Mengapa? Karena solusi atas dosa manusia jelas bukan dari manusia, tetapi dari Allah. Oleh karena itu, Allah Bapa mengutus Kristus yang adalah Allah untuk menjadi manusia dan menebus dosa manusia. Kalau Unitarian menyangkal dan berkata bahwa solusi atas dosa manusia adalah Allah berdiam di dalam kemanusiaan Yesus, sehingga Allah dapat menyelamatkan manusia, maka konsep ini jelas bertentangan dengan Matius 1:21 bahwa Yesus yang akan menyelamatkan manusia.

Selain itu, doa kita juga merupakan doa yang beres ketika kita percaya kepada Allah Tritunggal. Kita berdoa kepada Allah Bapa di dalam nama Yesus Kristus melalui Roh Kudus di mana Bapa, Kristus, dan Roh Kudus sama-sama adalah Allah. Apa jadinya jika kita berdoa dengan formula tadi, namun kita percaya bahwa Allah itu tunggal, sehingga Yesus dan Roh Kudus bukan Allah? Doa sejati adalah doa yang dipanjatkan kepada Allah, sehingga kalau Yesus dan Roh Kudus bukan Allah, untuk apa Yesus dan Roh Kudus disebutkan dalam formula doa?

Apa relevansinya bagi kehidupan praktis dan kerohanian kita? Ketika kita percaya Allah itu Tritunggal, maka kita percaya bahwa Roh Kudus yang memimpin hidup kita untuk serupa dengan Kristus adalah Allah. Kepercayaan ini mendorong kita untuk hidup bagi Allah dengan jaminan pasti karena Allah menopang hidup kita agar kita dapat hidup bagi-Nya. Jika Roh Kudus bukan Allah, maka ketika Alkitab berkata bahwa kita dipimpin Roh Kudus untuk hidup bagi Allah, itu adalah jaminan yang sia-sia. Mengapa? Karena Roh Kudus yang memimpin kita bukan Allah yang memelihara kita. Apa maksudnya? Kalau orang percaya bahwa Allah itu tunggal dan Roh Kudus hanya sekadar kuasa Allah (bukan Allah), maka ketika Roh Kudus yang adalah kuasa Allah ini memimpin kita untuk hidup bagi Allah, pimpinan Roh Kudus hanya sekadar pimpinan dari kuasa yang tidak jelas arahnya. Kita dapat mengabaikan pimpinan kuasa Allah tersebut dan tidak berdosa. Bukankah hal ini makin menyengsarakan kita ketika kita hidup bagi Allah karena kita dipimpin oleh suatu kuasa Allah yang tak berdaya apa pun?

Selain itu, dari Filipi 2:3-7 kita belajar teladan kerendahhatian adalah Yesus yang adalah Allah tidak mengambil keuntungan sebagai Allah demi keegoisan-Nya, melainkan mengosongkan diri-Nya dan menjadi sama dengan kita yang adalah manusia, maka kita pun seharusnya tidak mengambil keuntungan diri kita untuk memuaskan keinginan kita, melainkan melayani orang lain. Jika Yesus bukan Allah, maka buat apa Ia mengosongkan diri-Nya dan menjadi sama dengan manusia? Bukankah Dia aslinya memang sudah “kosong”? Tidak heran, ketika orang percaya bahwa Allah itu tunggal dan Yesus bukan Allah, maka orang itu seharusnya agak sulit rendah hati karena teladan kerendahhatian yaitu Yesus, Allah menjadi manusia sudah disangkal. Buktinya adalah ketika kita menyodorkan bukti logis bahwa Tritunggal lebih Alkitabiah dari Unitarian kepada mereka yang anti Tritunggal, biasanya mereka tidak mau menerimanya dan mencari-cari alasan lain di luar topik. Kekeraskepalaan mereka keluar dari iman mereka.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Ev. Denny Teguh Sutandio

Reformed Exodus Community