(Kej. 15:3; 16:1-4; 30:1-13; Rut 4:16; Est. 2:7; 1Raj. 19:19-21; Rm. 8:15; 9:4; Ef. 1:5)
Meskipun orang-orang Israel tidak memiliki istilah teknis untuk adopsi, praktik mengambil satu orang yang tidak termasuk keturunan darah sebagai ahli waris resmi sudah ada sejak zaman permulaan, khususnya di Timur Tengah. Contohnya, Abraham mengangkat hambanya, Eliezer untuk menjadi ahli warisnya jika ia meninggal tanpa memiliki anak kandung. Beberapa orang percaya bahwa Laban mengangkat Yakub menjadi anak adopsi dan ahli warisnya karena pekerjaannya bertahun-tahun dan pernikahannya dengan putri-putri Laban. Pencurian akan ilah-ilah rumah tangga, yang biasanya menunjukkan hak warisan, kelihatannya memperkuat anggapan ini. Ketika Yakub pindah ke Mesir dan bertemu 2 anak Yusuf untuk pertama kalinya, ia mengadopsi mereka sebagai miliknya, membagi bagian Yusuf akan tanahnya kepada Efraim dan Manasye. Musa mungkin diadopsi oleh putri Firaun, mengikuti praktik sah orang Mesir.
Praktik-praktik seperti poligami dan pernikahan levirat (pernikahan dengan istri/suami saudara yang telah meninggal) tersedia bagi distribusi kepemilikan yang rapi di dalam suku bangsa. Istilah lain kelihatannya mengimplikasikan bentuk adopsi atau paling sedikit merupakan perlindungan. Contohnya, Ruth menempatkan anaknya pada pangkuan Naomi, rupanya mengizinkannya menjadi pengasuh anaknya. Beberapa orang percaya bahwa, karena Ruth seorang Moab, usahanya untuk mencari perlindungan pada sayap Tuhan adalah keinginan untuk diadopsi ke dalam komunitas Israel
Dalam hal Elia dan Elisa, pelemparan jubah pada nabi yang lebih muda tampaknya menandakan Elisa sebagai ahli waris rohani Elia. Secara theologis, rumusan adopsi tercantum di dalam Mazmur 2:7, “Anak-Ku engkau!” muncul kembali di dalam Perjanjian Baru. Paulus menggunakannya untuk memberitahukan pemilihan Allah akan umat pilihan-Nya: Anak alami atau fisik barangkali milik keturunan-keturunan Abraham, tetapi Allah memilih untuk memberkati orang-orang kafir melalui iman mereka di dalam Anak-Nya dan menebus mereka dari “perbudakan menjadi anak.”
Sebagai anak-anak adopsi Allah yang dipilih Allah sesuai dengan kehendak-Nya yang berdaulat (Ef. 1:5), kita beroleh hak untuk memanggil Allah sebagai Bapa (Rm. 8:15) dan kita adalah milik-Nya (1Yoh. 3:1). Dunia tidak mengenal kita, karena dunia tidak mengenal Bapa (1Yoh. 3:1). Selain mendapat hak, sebagai anak-Nya, kita harus menunaikan kewajiban kita yaitu hidup serupa dengan gambaran Kristus (Rm. 8:29), maka kita harus didisiplin oleh Bapa (Ibr. 12:6-8). Hidup serupa dengan Kristus ditunjukkan dengan hidup sebagai anak-anak terang yang memancarkan terang Kristus kepada orang-orang di sekitar kita (Ef. 5:1-21) dan melakukan kebenaran serta mengasihi saudaranya (1Yoh. 3:8, 10).
Bagaimana dengan kita? Jika kita termasuk umat pilihan-Nya yang diadopsi menjadi anak-anak-Nya, sudahkah kita bersedia didisiplin oleh Bapa kita untuk serupa dengan Kristus? Sudahkah kita mencerminkan kehidupan yang serupa dengan gambaran Kakak Sulung kita, yaitu Tuhan Yesus Kristus? Amin. Soli Deo Gloria.
Sumber:
Tischler, Nancy Marie Patterson. All Things in the Bible. Westport: Greenwood Press, 2006